Kita mulai dari mana untuk memulai, dan isi darimana untuk mengisi kalimat ini, kata-kata pembuka yang identik pembawaan dari sang pemikir revolusioner yang pemikirannya melekat hingga sekarang yaitu Tan Malaka. Nahh kita mulai dari profil Tan Malaka, Ibrahim Datuk Sutan Malaka atau lebih dikenal dengan sebutan Tan Malaka (1897-1949) lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Tan Malaka Lahir pada saat tanah kelahirannya di bawah kekuasaan Hindia-Belanda.
     Membaca banyak buku-buku tentang pandangan budaya dan politik para pemikir Jerman memantik Tan Malaka Terkesan dengan pandangan politik dan kebudayaan Jerman dan pada akhirnya menjadi arah panutan politik yang mendorong dia mendaftar sebagai Angkatan Darat Jerman, tetapi di tolak, karena tentara tidak menerima orang asing pada saat itu. Kecintaan Tan Malaka akan pandangan politik dan budaya asing membuatnya memiliki pandangan yang berbeda yang dituangkan dalam buku-buku yang dia tulis. Beberapa judul buku karya Tan Malaka yang menjadi penting diantaranya Menuju Republik Indonesia (Naar de `Repbuliek Indonesia') 1925, Aksi Masa 1926, dan Madilog 1943.  Sedikit dari kisah dia yang sedari kecil sudah melebur dengan kaum-kaum barat yang membuat dan menggerakkan pemikiran tersebut kedalam demokrasi saat itu di republik kita ini disaat terjadi krisis besar-besaran, oleh karena pergejolakan-perjolakan yang timbul dari beberapa penyebabnya diantara Feodalisme, Kapitalisme, dan hak-hak proletar yang semestinya dimiliki sepenuhnya oleh kaum ini sendiri.
     Didalam dinamika dan tragedi yang terjadi banyak kejadian-kejadian yang ingin di konsolidasikan meluruskan pemikiran-pemikiran masyarakat terutama saya sebagai penulis untuk lebih idealis dalam mengambil, mengelola dan mendapatkan stagment yang terlontar dan diambil sebagai landasan pemikiran komersil. Saya sebut saja kaum ataupun etnis yang memiliki budaya daerah, budaya oleh leluhur mereka yang memang perlu di lestarikan dan digeneralisasikan dengan turun-temurun, namun yang menjadi polemik saat mencerminkan budaya tersebut hal-hal diluar nalar manusia itu sendiri diterima secara mentah dan ditelan utuh-utuh oleh sebagian orang diantaranya yang sering disebut Logika Mistika. Bukan tentang kebudayaannya, bukan tentang Tradisi nya sekarang yang menjadi polemik  disini bukan tentang itu, tetapi oleh pemikiran-pemikiran yang terbelenggu oleh pemikiran mistik yang dimakan utuh-utuh, selain itu bukan hanya budaya saja Feodalisme, Kapitalisme juga masih merajalela kini menjadi akar bagi peradaban. Mengapa kita harus keluar dari permasalan ini? Tan Malaka pernah berkata, "Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim ditambah lagi oleh dorongan kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menggencet dan menghinakan mereka".- Maka untuk membuang sisa-sisa akar yang masih tumbuh dibatang yang roboh harus dimusnahkan secara merata untuk mendapatkan batang kokoh dan kuat, begitu jugalah dalam sebuah Negara untuk menjadi negara yang Makmur dan Sejahtera yang tidak terkurung oleh kebebasan yang bisa jadi menjadikan ini sebagai "NAWASENA" oleh semua golongan kaum.
     Idealisme keistimewaan terakhir yang dimiliki oleh pemuda, Kutipan ini bukan hanya biasan semata yang dilontarkan begitu saja olehnya, tetapi mempunyai makna yang sangat penting  dalam Peradapan yang Jernih. Mengutip dari Blogspot lini media massa"Pemuda Indonesia adalah generasi yang siap bertarung untuk melindungi hak-hak dasar rakyatnya".  Bahwa "NAWASENA" oleh suatu negara bergantung pada Pemuda-pemuda nya yang ikut serta dalam megupas dan mengulik tentang Kebudayaannya, Feodalisme dan Kapitalisme yang terjadi saat ini tidak bisa hanya menutup mata dan berjalan begitu saja. Itulah yang dituangkan Oleh Tan Malaka dikedalam buku-buku yang diterbitkan dan dicetuskan olehnya, lewat pemikiran dan gagasannya yang masih tenggelam di ambang dasar laut segala pemikiran dan gagasan Revolusionernya, Tan Malaka seorang pemikir dan pejuang yang mengedepankan idealisme revolusioner. Baginya, idealisme bukan sekadar impian kosong, tetapi komitmen untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan sosial.Â
     Dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ia menekankan pentingnya berpikir kritis dan rasional untuk membangun masyarakat yang adil. Ia menolak feodalisme dan imperialisme, percaya bahwa rakyat harus berpendidikan dan sadar akan hak-haknya. Idealisme Tan Malaka bukan sekadar teori, tetapi diwujudkan dalam perjuangan nyata, meski harus menghadapi pengasingan dan pengkhianatan. Bagi Tan Malaka, idealisme sejati adalah keberanian berpikir dan bertindak demi perubahan. melihat mistisisme dan takhayul sebagai penghambat kemajuan. Ia menawarkan Madilog sebagai metode berpikir berbasis ilmu pengetahuan, logika, dan dialektika. Dengan pemikiran rasional, masyarakat dapat membebaskan diri dari kepercayaan yang tidak berdasar dan beralih pada pemahaman yang lebih ilmiah serta progresif.
Melalui pendidikan, sosialisme, dan rasionalisme, Tan Malaka menginginkan Indonesia yang bebas dari belenggu feodalisme, kapitalisme, dan budaya mistika, menuju masyarakat yang maju dan berkeadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI