"Hidupkan televisi, Ayah, kau akan tahu mengapa aku mematikannya."
Aku mengambil remote dan menekan tombol power. Semua stasiun televisi sedang menyiarkan debat presiden. Meski tidak begitu paham, aku senang melihatnya. Ruangan tempat mereka berdebat itu sangat mewah. Bahkan podiumnya terbuat dari kaca. Aku membayangkan bila podium itu diuangkan untuk membayar tagihan listrik.
Aku menarik kursi dan mulai duduk, menyimak jawaban para calon presiden dan pertanyaan dari presenter yang berusaha untuk tegas. Itu Ira Koesno, aku mengingatnya. Ia telah cantik seperti itu sejak masa remajaku, dan aku belum pernah menceritakan kepada siapapun bahwa ia-lah perempuan yang aku mimpikan, yang membuat aku kebingungan di pagi hari mengapa celanaku menjadi basah.
Dari meja makan anakku berjalan ke arahku, pelan-pelan, sebab matanya juga terpancang ke televisi. Ia berbaring di perutku, menempelkan hidungnya di dadaku.
"Yah," ia berkata. Suaranya terdengar sangat bosan dan berubah sengau, sebab hidungnya tertutup oleh perutku yang membuncit.
"Apa," aku menjawab pendek.
"Apakah boleh memukuli para calon presiden? Mereka baru saja mencuri Ultramen dariku."
Aku terhenyak. Anakku baru saja mengeluarkan pernyataan yang sangat berbahaya. Untunglah hanya kami berdua di situ, dan tidak ada orang lain yang mendengar.Â
Aku segera memeluk tubuh kecilnya, mencoba untuk ikut merasakan kehilangan besar yang ia rasakan.
Surabaya, Januari 2019