Kebijakan meneruskan kemacetan yang membelah perkotaan. To the point melalui opini diatas saya menyatakan ketidaksetujuan saya terhadap proyek ini.Â
Sekalipun argumentasi yang ditimbulkan adalah pertumbuhan ekonomi di kawasan mengingat percepatan mobilitas adalah segalanya. Lantas bisa jadi justru menghambat dan menjadi bumerang baru. Mengapa demikian?
Walaupun sudah diatur dalam rencana tataruang wilayah (RTRW 2030), RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025) Provinsi DKI Jakarta dan Perpres pengembangan Jabodetabek.Â
Saya rasa jika mengakomodir proyek ini sudah pas dikatakan tidak merujuk riset atau kajian mendalam tentang kepadatan jalan yang berada di Jakarta yang sebenarnya tiada harus diselesaikan dengan tol, utamanya memecah kawasan pusat perkotaan. Bukan berarti saya menolak tol sepenuhnya hanya saja harus selektif kalau ingin mendorong pembangunan tol.Â
Dibangun dengan skema layang rencananya akan dibangun di 6 titik yaitu Semanan-Pulogebang (baru rampung Pulogebang-Kelapagading sejak 2021 lalu), kemudian Duri Pulo hingga Kampung Melayu, Kampung Melayu hingga Kemayoran, Ulujami hingga Tanah Abang, Pasar Minggu hingga Casablanca.Â
Kurang lebih sama seperti tol yang sudah terbangun sejak tahun 80an lalu yaitu Wiyoto Wiyono atau masyarakat Jakarta familiar dengan istilah By Pass dari Cawang hingga Tanjung Priok.Â
Terus terang secara pribadi saya merasa bahwa selain merusak tata ruang juga tidak relevan alias realistis dengan kondisi jalan arteri dibawah yang mendukung pula kinerja tol agar lancar.
Sikap saya jelas, daripada Pemerintah fokus soal pembangunan 6 ruas tol dalam kota alias JIRR mending bereskan soal JORR atau lingkar luar kota yang kini sudah sampai pada tahap 2.
Meskipun tol dalam kota layang tersebut mengakomodir transportasi publik yaitu dengan mengakomodir Transjakarta yang kalau tidak salah tipe Ekspres karena seperti koridor 13 yang hanya melewati layang (dimana halte akan ditaruh, baik dekat dengan pintu tol maupun ditengah jalan tol yang diakses via eskalator atau lift). Tetap saja tidak bisa menjadi solusi sepenuhnya. Apalagi biaya investasi yang dikeluarkan tidak sedikit, kurang lebih sudah mencecah angka 25 Triliun bahkan bisa lebih lagi.Â
Kalau menurut saya, perkara memecah kemacetan di ruas dalam kota Jakarta. Cukup-cukup lah tol yang notabene juga dilewati oleh bus dan truk yang malah membuat estetika kota menjadi tidak ada harganya.Â