Membaca itu mudah. Memahami butuh hati. Mengamalkan butuh keberanian. Hampir semua pemimpin kita tentu pernah membaca. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah: apakah yang dibaca sudah benar-benar dipahami dan diamalkan?
Ambil contoh bagi yang Muslim, tentu hadis ini tidaklah asing. Sebuah teladan tentang keadilan sejati dari sosok mulia Rasulullah, yang hampir semua muslim pasti pernah membacanya atau setidaknya pernah mendengarnya:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya."Â (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Betapa jelas teladan Rasulullah dalam menegakkan keadilan, hingga beliau berani menyatakan bahwa putrinya sendiri tidak akan dikecualikan dari hukum. Inilah standar kepemimpinan sejati, bukan sekadar kata-kata, tetapi nyata dalam tindakan.
Kepemimpinan dalam Islam bukanlah sekadar jabatan, melainkan amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Al-Qur'an telah memberikan banyak petunjuk agar pemimpin bersikap jujur, adil, amanah, rendah hati, serta bertanggung jawab. Rasulullah dan para sahabat telah banyak memberikan contoh nyata.Â
Umar bin Khattab rela memikul sendiri karung gandum yang berat ketika mendengar tangis anak-anak yang kelaparan. Ia bukan hanya mengantarkan, tetapi juga ikut memasak dan menyuapi mereka dengan tangannya sendiri. Padahal, dengan mudah ia bisa menyuruh para bawahannya. Namun Umar tidak mau bersembunyi di balik jabatan. Ia takut kepada Allah jika ada satu jiwa rakyat yang terabaikan.
Abu Bakar pun memberi teladan serupa. Beliau menolak memperkaya diri dari baitul mal. Dengan bahasa sederhana, ia diberi gaji besar, namun justru menolaknya. Ia ingin memastikan tidak ada secuil pun hak rakyat yang masuk ke kantong pribadinya.
Utsman bin Affan pun tidak kalah mulia. Saat umat membutuhkan, ia berderma besar tanpa ragu. Ketika kaum Muslimin menghadapi kesulitan besar, beliau menyumbangkan harta dalam jumlah yang luar biasa, hingga kebutuhan pasukan dapat terpenuhi. Kedermawanannya bukan sekadar untuk sesaat, tetapi berulang kali ia hadir sebagai penolong umat. Ia memberi bukan karena ingin dipuji, melainkan karena imannya yang teguh dan keyakinannya pada janji Allah.
Ali bin Abi Thalib pun menunjukkan standar keadilan yang agung. Sebagai Khalifah, ia pernah bersengketa di pengadilan. Namun ia datang bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai rakyat biasa. Ia duduk sejajar, tunduk pada hukum yang sama, tanpa meminta keistimewaan.