Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah mulai tahun 2014. UU ini mengamanahkan pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum diekspor. Tujuan UU Minerba sangatlah mulia: agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah dari produk- produk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga kerja. Berbeda dengan harapan awal, pasca-penetapan UU ini eksploitasi pertambangan justru melonjak tajam. Pemilik tambang berlomba menambang sebanyak-banyaknya sebelum dilarang. Akibatnya, produksi sejumlah komoditas tambang melonjak. Contohnya produksi bauksit tahun 2009 sebanyak 783.000 mt, tahun 2011 menjadi 17.634.000 mt, atau melonjak 2.150 persen. Hal serupa terjadi pada komoditas ore nikel, di mana produksi pada 2009 hanya 5.802.000 wmt, tapi tahun 2011 sudah 15.973.000, atau meningkat 175 persen (Kementerian ESDM, 2012).
Tepat 1,5 tahun semenjak diterapkannya UU Minerba tersebut pada tahun 2009, banyak pihak yang menilai program penghiliran industri minerba seperti jalan di tempat. UU Minerba belum mampu menekan volume ekspor minerba mentah dan meningkatkan volume ekspor produk setengah jadi/jadi. Hal ini terjadi karena, Pemerintah dirasa belum berhasil menciptakan iklim usaha yang membuat investor tertarik membangun industri smelter di Indonesia. Implikasi dari minimnya smelter adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, yang pada akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya.
Hal yang berbeda ditunjukkan oleh data volume ekspor Minerba mentah dari Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa dari tujuh kelompok minerba yakni kelompok bijih, bahan bakar mineral, karbon aktif, bahan bangunan dari mineral, garam, batu mulia dan bahan pengikat terdapat dua kelompok minerba yang sudah tidak dilakukan ekspor dalam bentuk minerba mentah sejak ditetapkannya UU Minerba pada tahun 2009. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa volume ekspor beberapa jenis barang tambang yang melonjak tajam pada periode sebelum diterapkannya UU Minerba kembali mengalami penurunan setelah diterapkannya UU Minerba tersebut. Kelompok Minerba yang mengalami penurunan volume ekspor dalam bentuk mentah adalah garam, bijih dan bahan bangunan. sementara untuk kelompok minerba bahan bakar mineral terus melonjak tajam dan kelompok karbon aktif volum ekspornya konstan.
Menurunnya volume ekspor minerba mentah tersebut ternyata diimbangi juga dengan semakin meningkatnya volume ekspor dalam bentuk barang setengah jadi dan barang jadi. Berdasarkan profil ekonomi 2015 Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, nilai ekspor untuk produk jadi maupun setengah jadi terjadi peningkatan sejak diterapkannya UU Minerba antara lain pada produk yang berbahan dasar bijih yakni mesin-mesin/pesawat mekanik yang meningkat lebih dari 20 juta US$ dari tahun 2013 sebesar 5.968 juta US$ mrnjadi 5.969 juta US$ pada tahun 2014, kendaraan dan bagiannya meningkat 646,5 juta US$ dan perangkat optik meningkat sebesar31,8 juta US$ dari tahun 2013 ke tahun 2014.
Meningkatnya nilai ekspor ini juga terjadi pada produk yang berbahan garam dan bahan bangunan dari mineral. Artinya, menurunnya volume ekspor beberapa minerba mentah terjadi karena fokusan eskpor bergeser pada komoditi barang jadi/setengah jadi. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa UU Minerba efektif dalam menurunkan volume ekspor minerba mentah dan meningkatkan volume ekspor produk jadi/setengah jadi. Meskipun demikian, masih diperlukan pengawasan ketat dari pemerintah dalam pelaksanaan UU Minerba ini agar semua elemen pertambangan dapat mematuhi aturan pertambangan ini.
Indonesia butuh sistem yang pasti bukan aturan yang mudah dinegosiasi.