Di antara tembok tua stadion Vallecas yang berderit oleh waktu, dua tim dengan ambisi Eropa saling menabrakkan mimpi mereka. Tapi kisah malam itu bukan hanya soal angka di papan skor.
Antara Euforia dan Trauma Kecil di Kandang Sendiri
Ada sesuatu yang berbeda di udara Madrid timur, Kamis malam itu. Para penggemar Rayo Vallecano datang dengan harapan-meski dalam hati, mereka tahu betul bahayanya berharap terlalu banyak pada tim yang lebih sering menggigit bibir sendiri di kandang.
Rayo tampil menggila sejak awal. Jorge de Frutos melepaskan kegembiraan di menit ke-37, menyambar bola liar seperti anak kecil yang akhirnya menemukan mainan yang hilang. Beberapa menit kemudian, Florian Lejeune-bek bertato yang jarang tampil mencolok-mencetak gol tendangan bebas indah. Gol itu mengundang riuh, tapi juga mengandung aroma nostalgia yang pahit: mereka sudah beberapa kali unggul lebih dulu musim ini, hanya untuk kehilangan segalanya di akhir.
Dan seperti deja vu yang mengiris, malam itu bukan pengecualian.
Ketika Luka Menjadi Bahan Bakar
Real Betis bukan tim yang nyaman berada dalam posisi korban. Tertinggal dua gol bukan akhir, tapi titik tolak.
Cucho Hernndez, striker Kolombia yang sempat dianggap gagal di Watford, menebus reputasi dengan mencetak gol penting di menit ke-51. Ia tidak sekadar mencetak angka-ia menyuntikkan kehidupan ke dalam tubuh Betis yang nyaris mati. Sepuluh menit kemudian, Isco, yang baru tahun lalu nyaris dianggap "selesai" oleh dunia sepak bola, menaklukkan Batalla dari titik putih.
Dua-dua.
Tapi lebih dari sekadar skor, itu adalah titik kulminasi dari dua narasi kontras: Rayo, tim pekerja keras dari sudut kota yang sering disalahpahami, melawan Betis-tim dari selatan yang tengah memulihkan harga dirinya, mencoba kembali ke panggung Eropa.
Apa Jadinya Jika Kita Adalah Rayo?