Bayangkan jika suatu hari, gaji sebulan Anda hanya cukup untuk membeli sekarung beras. Harga kebutuhan pokok naik tiga kali lipat, sementara penghasilan justru menurun. Bayangkan saat Ramadan tiba, bukan hanya menahan lapar karena ibadah, tetapi karena makanan benar-benar tak terjangkau.
Inilah suatu kenyataan yang sedang dialami rakyat Malawi, negara kecil di Afrika yang kini terjebak dalam krisis ekonomi terburuknya. Inflasi pangan meroket 38,5%, nilai mata uang anjlok lebih dari 50% sejak 2022, dan harga bahan pokok naik drastis. Sekantong jagung 50 kg, yang menjadi makanan utama mereka, kini mencapai 110.000 kwacha [Rp 1 juta], sementara upah minimum hanya Rp 852 ribu, bahkan untuk pekerja rumah tangga hanya Rp 429 ribu per bulan.
Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup ketika harga makanan pokok lebih mahal dari gaji?
Ramadan yang Penuh Penderitaan di Malawi
Menurut Bank Dunia, 75% dari 21 juta penduduk Malawi hidup dalam kemiskinan. Mereka bukan hanya miskin, tetapi benar-benar tak mampu membeli kebutuhan dasar. Nilai mata uang mereka, Kwacha Malawi, terus jatuh bebas akibat devaluasi, memperburuk kondisi negara yang bergantung pada impor. Tanpa cadangan dolar yang cukup, harga barang impor melonjak, dan rakyat semakin tercekik.
Krisis ini bukan hanya soal ekonomi. Ribuan orang turun ke jalan, menuntut perubahan, menyadari bahwa pemerintah mereka gagal mengendalikan situasi. Demonstrasi terbesar dalam bertahun-tahun mengguncang ibu kota dan berbagai kota lainnya. Dengan pemilu yang semakin dekat, kepercayaan terhadap kepemimpinan Presiden Lazarus Chakwera kian goyah.
Bayangkan menjalani Ramadan dengan perut kosong, bukan karena berpuasa, tetapi karena makanan tak lagi bisa dibeli.
Indonesia Harus Belajar! Ramadan Tak Boleh Jadi Momentum Krisis
Indonesia memang belum sampai di titik ini, tetapi ancaman tetap ada. Inflasi Indonesia pada Februari 2025 mencapai 2,9% secara tahunan, masih dalam batas aman, tetapi sektor pangan menunjukkan gejala kenaikan yang mengkhawatirkan. Harga beras premium sudah menyentuh Rp 16.500 per kg, naik signifikan dibanding tahun lalu. Ketergantungan pada impor beras juga meningkat, dengan impor 2,8 juta ton beras sepanjang 2024, yang berarti kita rentan terhadap gejolak global.
Jika rupiah melemah tajam atau impor terganggu, bukan tidak mungkin kita mengalami lonjakan harga seperti Malawi. Ketahanan pangan Indonesia perlu dikelola lebih baik, apalagi di bulan Ramadan, di mana permintaan bahan pokok melonjak.
Malawi menjadi cermin buruk yang harus kita waspadai. Jika kebijakan ekonomi salah langkah, jika kita terlalu bergantung pada impor, jika mata uang kita melemah tanpa kendali, skenario serupa bisa terjadi.