Mohon tunggu...
Febry Arya Ilham
Febry Arya Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Febry Arya

Tukang foto amatir yang mencoba menulis agar tetap abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sesama Setan

16 Maret 2020   20:09 Diperbarui: 16 Maret 2020   20:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi bukanlah hal yang baru di negeri ini. Mulai dari rakyat kecil, kepala desa, wakil rakyat, pejabat Negara bahkan hingga tingkat yang lebih tinggi mengenal apa itu korupsi. Betapa tidak, korupsi telah menjadi santapan sehari hari mereka, walaupun "mungkin" tidak semuanya terlibat.

Vonis hitungan bui memang belum tampak. Tapi bayang bayang dinginnya lantai penjara sudah menghantui hari harinya. Jika ia terbukti bersalah. Tinggal menghitung hari, ia sadar kecil baginya untuk bisa lolos dari jeratan hukum. Ia juga sadar, ia telah menerima suap sebesar 500 juta rupiah, kecil memang baginya. 

Tapi korupsi tetaplah korupsi bukan? Memakan yang bukan haknya bukanlah perbuatan yang layak ditiru. Tapi bak nasi sudah menjadi bubur, padahal imaji liarnya sudah terbayang akan mimpi mimpi yang akan ia wujudkan dengan uang suap tersebut.

Tersebutlah namanya Doni, lelaki tambun yang kesehariannya bekerja sebagai staf di salah satu perusahaan dalam negeri. Namun karena salah langkah dan bisikan setan. Ia malah terjerumus kedalam lubang hitam korupsi. 

Kasus suap ini membuat syarafnya berputar tujuh keliling.  Tikaman batin itu makin menjadi-jadi. Tidak ada lelaki yang ingin berada di posisi nya. Dan, kebahagiaan tidak akan pernah bisa diraih dengan cara-cara instant. Sudah banyak buktinya, uang yang melimpah dengan tiba-tiba, dengan sangat cepat pula menghancurkan sebuah kehidupannya ini menjadi pertanda bahwa kebahagiaan adalah proses, proses kehidupan. Ada yang tahan banting menjalani proses, ada pula yang kemaruk tapi akhirnya tersuruk-suruk.

 Fisiknya seolah terpenjara. Ia pun terkapar, ditikam batinnya sendiri. Matanya nanar menatap langit-langit. Apa reaksi teman-temannya? Bagaimana pula sikap pacarnya? Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di penjuru syarafnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

"Hancur sudah masa muda dan hidupku. Kenapa jadi seperti ini?" tukasnya di sela sela nafas dalamnya. Namun ia teringat oleh salah satu ucapan teman sejawatnya. Ia ingat betul, kala itu temannya berkata bahwa setiap manusia pasti memiliki kesempatan kedua, untuk memperbaiki diri. Bak tersambar petir di siang bolong, sontak ia bepikir untuk bertobat dengan cara pergi haji dengan menggunakan uang suap tersebut.

 "Saya ingin menjadi laki-laki sejati," gumamnya lagi. 

"Hakekat seorang laki-laki itu ada pada tanggung jawab. Tak ada artinya seorang lelaki tanpa tanggung jawab. Ini prinsip, sangat prinsip," gumamnya sambil berjalan mondar mandir. Namun, sejenak kemudian, ia merasa ditikam oleh gumamnya sendiri. Kalau memang bertanggung jawab, kenapa sampai menerima suap?

 "Ah!! Sudahlah. Yang terpenting niatnya saja dahulu" tegasnya perihal keinginannya untuk bertobat dengan cara berhaji. Tak perlu berlama lama, ia pun mendaftar sebagai calon haji. Bayang bayang akan pertanggung jawaban atas perbuatan terus menerus menghantui batin dan pikirannya. Sekuat tenaga ia lawan, sebab ia yakin ia masih punya kesempatan kedua.

Hari yang ia nanti pun tiba, dengan tetap berpegang teguh pada pendiriannya, ia melaksanakan haji dengan harap dosanya dapat diampuni. Rangkaian demi rangkaian ibadah haji ia lakukan dengan sungguh sungguh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun