Pendahuluan
Perceraian bukan lagi hal yang asing di tengah masyarakat kita. Setiap tahun, ratusan ribu pasangan resmi mengakhiri pernikahannya melalui jalur hukum. Alasannya beragam: mulai dari pertengkaran terus-menerus, kekerasan dalam rumah tangga, hingga masalah nafkah. Namun, satu alasan yang jarang dibicarakan secara terbuka adalah ketiadaan keturunan. Banyak yang bertanya---apakah tidak memiliki anak bisa dijadikan alasan untuk bercerai secara sah menurut hukum Islam?
Pertanyaan ini menjadi landasan menarik dalam sebuah skripsi karya Nurul Hidayati, mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta, yang membedah pandangan hakim atas perkara semacam itu di Pengadilan Agama Bantul. Saya tertarik mengulasnya karena topik ini menyentuh wilayah yang sangat manusiawi namun jarang tersorot dalam kajian akademik.
Kenapa Saya Tertarik Judul Ini?
Alasan saya sederhana: isu ini sangat dekat dengan realitas masyarakat, tapi kerap luput dari pembahasan hukum yang komprehensif. Banyak pasangan merasa hidupnya hampa karena tidak dikaruniai anak. Bahkan, tekanan sosial membuat mereka tak lagi nyaman hidup bersama. Tapi bagaimana sikap hukum terhadap ini?
Judul ini menjadi menarik karena membuka ruang perdebatan antara norma agama, konteks sosial, dan interpretasi hakim dalam praktik pengadilan. Tidak semua hal yang tidak tertulis dalam undang-undang berarti tidak bisa dipertimbangkan. Dan di sinilah peran hakim menjadi sangat penting.
Review Skripsi: Apa yang Menarik?
Skripsi ini tidak hanya membahas teori hukum, tapi juga menyajikan wawancara langsung dengan hakim di Pengadilan Agama Bantul. Dari sanalah saya tahu bahwa:
Tidak memiliki anak bukan alasan resmi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun bisa dimasukkan ke dalam kategori "pertengkaran terus-menerus".
Hakim tidak hanya melihat dari segi teks hukum, tapi juga mempertimbangkan kondisi psikis dan sosial pasangan.
Dalam beberapa kasus, hakim menerima alasan ini karena memang menimbulkan ketegangan rumah tangga yang berkelanjutan.