Mohon tunggu...
Febriana Rahma
Febriana Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga

Saya suka menulis, baik tulisan fiksi maupun non-fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Taat pada Kyai: Ngalap Barokah atau Merusak Akidah?

15 Oktober 2025   19:10 Diperbarui: 15 Oktober 2025   19:10 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.duniasantri.co

Sesuai dengan ketetapan pada konstitusi hukum yang ada di Indonesia, sebagaimana yang tertuang pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, di dalamnya menyatakan bahwa salah satu tujuan pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Seyogyanya, tujuan mulia tersebut tidak serta merta digagas dan ditulis tanpa adanya usaha yang berarti, melainkan harus diwujudkan dengan tekad dan tanggung jawab yang besar oleh pemangku kebijakan negara. Pendidikan termasuk kebutuhan dasar sekaligus fundamental bagi manusia, melalui pendidikan seseorang dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang berguna untuk dapat menjalankan harkat dan martabat manusia sesuai fungsinya. Oleh karena itu para aparatur negara harus memastikan seluruh warga negara memperoleh hak belajarnya dengan cara yang benar dan layak.

Dalam prosesnya, pendidikan dapat dilakukan melalui cara yang beragam. Seperti yang kita kenal terdapat pendidikan formal yang dilaksanakan di institusi resmi contohnya sekolah dan universitas. Selanjutnya terdapat pendidikan non-formal layaknya kursus, pelatihan keterampilan, dan lain sebagainya untuk mengasah kemampuan non-akademis, serta  pendidikan informal yang difokuskan untuk menanamkan nilai-nilai moral yang ideal,  contohnya di rumah seperti yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Seluruhnya berkesinambungan untuk membentuk individu menjadi versi terbaik dari dirinya, seluruhnya bermanfaat karena pada hakikatnya proses belajar akan terjadi seumur hidup, dan seluruhnya pasti memiliki tujuan yang baik sesuai tempatnya.

Fakta bahwa 80% penduduk Indonesia beragama Islam, menjadikan negara kita sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Hal ini secara langsung membuat pendidikan berbasis agama, khususnya pendidikan agama Islam, memiliki peran yang sangat sentral. Bahkan pendidikan islam sudah lama digaungkan dan melekat dengan masyarakat sebelum Indonesia menjadi negara yang merdeka. Pendidikan islam sendiri merupakan sistem belajar yang dalam praktiknya menggunakan landasan nilai-nilai keislaman. Sistem belajar ini pertama kali dipelopori oleh pedagang dari Gujarat, India yang bermaksud menyebarkan agama yang dianutnya dengan cara damai. Kemudian, dikarenakan islam diterima baik oleh masyarakat muncul-lah para mubaligh yang akhirnya menyebarluaskan ajaran ini di seluruh nusantara. Salah satu tokoh masyhurnya ialah Maulana Makdum Ibrahim, yaitu ulama yang sering disebut sebagai Bapaknya Wali Songo; sembilan orang yang dinilai memiliki peran penting dalam menyebarkan islam di tanah jawa.

Menyinggung tentang pendidikan islam, maka tidak akan terpisahkan dengan adanya pondok pesantren; ialah lembaga pendidikan islam yang menempatkan guru (biasanya disebut kyai) dan murid (disebut santri) tinggal dalam lingkungan yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Sistem belajar yang paling umum dilakukan adalah menggunakan kitab tradisional yang berisi ajaran fiqh, akidah, tafsirul quran hadist dalam bahasa Arab. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat terkenal dan diminati di kalangan masyarakat Indonesia, hal ini mengingat cara belajarnya yang unik dan menekankan nilai kesederhanaan dalam hidup serta meninggalkan kenikmatan duniawi dengan fokus belajar tanpa adanya distraksi dari hal-hal di luar lingkungan pondok. Adanya alumni pondok pesantren yang dikenal memiliki etika yang baik juga menimbulkan persepsi dari banyak orang bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang sangat unggul dan ideal.

Dibalik unik dan suksesnya pondok pesantren, terdapat pula cara mengajar yang dianggap kontroversial oleh kalangan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah fenomea abdi dalem, artinya santri melakukan tugas rumah tangga di rumah kyai secara sukarela yang dianggap bentuk patuh dan taat, ghosob yaitu seseorang meminjam barang orang lain tanpa ijin, dan ta'zir merupakan hukuman yang diberikan ketika seseorang melanggar aturan. Seluruh aturan tradisi kontroversial tersebut biasanya dibalut dengan pernyataan ngalap barokah yang diartikan sebagai usaha untuk mendapatkan berkah Tuhan melalui perantara kyai sebagai seseorang yang dianggap berilmu tinggi. Selain itu, di beberapa pesantren juga diketahui masih menerapkan hukuman secara berlebihan dan tidak setimpal dengan kesalahan yang ia perbuat. Fenomena ini memunculkan reaksi publik yang luas baik menyampaikan kritik maupun klarifikasi dukungan.

Abdi dalem dianggap sebagai bentuk feodalisme atau perbudakan, hal ini karena santri yang dibebankan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga di rumah sang kyai tidak mendapatkan imbalan atau upah yang cukup, mereka hanya dijanjikan pahala atas perbuatannya. Di sisi lain bentuk feodalisme juga mengarah pada tingkat ketaatan yang dianggap fanatik, para santri dituntut mematuhi perintah kyai secara mutlak dan apabila menyanggah akan dianggap melakukan hal yang tidak pantas, sehingga santri dinilai tidak memiliki kebebasan berpikir yang objektif. Kemudian terdapat juga istilah meminjam barang tanpa ijin atau ghosob, budaya ini sudah menjadi hal lumrah di kalangan pondok pesantren karena santri menganggap barang yang ada di tempat umum merupakan milik bersama, tentu saja hal ini termasuk hal yang tidak terpuji sekaligus melenceng jauh dengan nilai moral keislaman. Selanjutnya terdapat juga tradisi yang kerap disebut ta'zir , ialah hukuman yang sering melampaui batas yang diperuntukkan pada pelanggar peraturan. Paling kontroversial yaitu seorang santri akan dimandikan air selokan yang sangat kotor dan disaksikan oleh banyak orang dikarenakan melanggar aturan seperti membawa peralatan elektronik, ketahuan pacaran, dan aturan lainnya. Hukuman seperti ini dianggap berlebihan karena tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.

Beberapa peristiwa yang dipaparkan di atas belakangan ini juga tengah ramai diperbincangan publik jagat maya karena peristiwa salah satu stasiun televisi nasional; trans7 menayangkan sebuah klip video para santri menyalami kyainya dengan mengesot, hal ini dianggap merendahkan derajat manusia dan mengagungkan atau bahkan mengkultuskan kyai secara berlebihan. Tayangan tersebut menimbulkan reaksi boikot trans7 karena dinilai menayangkan video yang tendensius dan menyinggung tokoh agama terkemuka. Karena hal ini, para keluarga besar dan alumni santri kemudian menyerukan kekecewaan melalui template story instagram yang menyatakan tayangan video tersebut salah persepsi, justru hal tersebut adalah bentuk pengabdian sebagai rasa terimakasih pada kyai mereka yang telah mengajarkan ilmu agama yang tidak ternilai harganya.

Sementara itu, pada platform lain, yaitu X. Penggunanya ramai-ramai menyampaikan pendapat yang kontra dengan para santri, mereka menilai hal tersebut adalah kebebasan pers dalam meliput peristiwa, sekaligus membenarkan video yang ditayangkan trans7 merupakan bentuk feodalisme. Salah satu komentar yang ditemukan disampaikan oleh nama pengguna @/reibelinheart, "I wont blame the Santri and Santriwati because they are minors who are easily get manipulated. There are so many ways to Tabarruk. Mom & Dad pls be very careful at choosing Guru Agama." Kemudian lain komentar dengan milik @/saturngguk yang menyinggung kasus-kasus pelecehan seksual oleh kyai pada santrinya beberapa waktu lalu. Komentarnya, "Trans7 emang provokatif, tapi pernah mikir nggak, kenapa giliran kyai yang kedapatan kasus pelecehan, penyalahgunaan wewenang semuanya diam? Nggak ada gelombang boikot waktu korban bersuara? Tapi begitu trans7 nyentil hal lama yang jadi masalah tiba-tiba semua kompak marah seolah agama lagi diserang. Menghormati guru itu wajib. Tapi kalau sampai mereka dianggap suci dan kebal kritik, itu bukan hormat, itu kultus." 

Komentar-komentar kontra tersebut banyak pula mendapatkan dukungan karena dianggap objektif, memanasnya adu argumentasi ini juga diperparah dengan pernyatan Menteri Agama RI yang menyatakan perbuatan pelecehan kyai pada santri merupakan hal yang hanya dibesar-besarkan media. Hal ini tentu menimbulkan reaksi marah bagi banyak orang, karena sudah sepantasnya pemuka agama memberikan contoh yang baik, bukan sebagai pelaku utama perbuatan kriminal. Isu ini kian memanas dan menjadi perdebatan sengit hingga saat ini, sehingga menimbulkan gejolak sosial yang belum terselesaikan.

Melalui peristiwa ini, kita dapat belajar bahwa pendidikan tidak hanya transfer ilmu, tapi membangun karakter yang memahami nilai kemanusiaan. Sangatlah penting membedakan tradisi yang positif dengan praktik yang berpotensi merugikan. Saya berharap lembaga pendidikan Indonesia, khususnya pondok pesantren turut berbenah dengan mempertahankan tradisi luhur dan meninggalkan praktik yang mencederai martabat manusia. Seperti yang ditulis di awal, pendidikan harus menjadi tempat manusia tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya yang memiliki intelektualitas dan moralitas yang mumpuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun