Kafe kecilku di sudut Yogyakarta dulunya penuh dengan alunan lagu Tulus, Danilla, atau Payung Teduh. Musik bukan sekadar latar, tapi napas yang memberi hidup pada suasana. Pelanggan datang bukan hanya untuk kopi, tapi untuk atmosfer yang hangat, akrab, dan kadang melankolis.
Namun sejak aturan royalti musik ditegakkan lebih ketat, aku terpaksa mematikan semua lagu. Bukan karena tak cinta musik Indonesia, tapi karena takut. Takut dijebak, takut dituntut, takut dihukum. Dan sejak itu, suasana berubah. Pelanggan mulai berkurang. Yang dulu betah berjam-jam, kini hanya mampir sebentar.
Dilema Royalti dan Tekanan Hukum
Aturan baru mewajibkan pemilik kafe membayar royalti sebesar Rp 120.000 per kursi per tahun. Artinya, untuk kafe kecil dengan 30 kursi, aku harus merogoh Rp 3,6 juta per tahun. Belum termasuk hak terkait dan biaya operasional lainnya.
Menurut Kompas.com, pemutaran musik dari platform seperti YouTube atau Spotify tetap dianggap komersial dan wajib bayar royalti. Bahkan suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air pun bisa dikenai royalti jika digunakan secara komersial.
Seorang pemilik kafe di Tebet berkata, “Kalau nyetel lagu, takut dijebak. Tapi kalau hening, pelanggan kabur”. Aku merasakan hal yang sama. Musik yang dulu jadi daya tarik, kini jadi ancaman hukum.
Kasus Mie Gacoan di Bali yang ditetapkan sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa izin membuat banyak pelaku usaha ketakutan. Ancaman hukuman pidana hingga 3 tahun dan denda Rp 500 juta bukan hal yang bisa dianggap enteng.
Musik yang Membentuk Suasana, Bukan Sekadar Latar
Musik bukan hanya pelengkap. Ia adalah pembentuk suasana. Lagu-lagu lokal memberi karakter pada tempatku. Ada pelanggan yang bilang, “Saya suka kafe ini karena musiknya. Rasanya kayak pulang.”
Sejak musik dihentikan, suasana jadi “anyep”. Beberapa pelanggan bahkan bertanya, “Kenapa sekarang sepi banget?” Aku hanya bisa tersenyum pahit.