Aku tidak pernah membayangkan akan menjadi orang yang berselingkuh. Tapi aku juga tidak pernah membayangkan akan diselingkuhi lebih dulu. Saat aku tahu dia mengkhianatiku, rasanya seperti seluruh dunia runtuh. Aku marah, hancur, dan yang paling menyakitkan: aku merasa tidak berharga.
Hari-hari setelah itu berjalan seperti kabut. Aku tetap tersenyum di depan orang lain, tetap bekerja, tetap menjadi pasangan yang “baik.” Tapi di dalam, aku menyimpan dendam. Aku ingin dia tahu rasanya. Aku ingin dia merasakan luka yang ia berikan padaku. Dan di situlah semuanya mulai berubah.
Aku tidak langsung mencari orang lain. Tapi ketika seseorang mulai mendekat, memberi perhatian, dan membuatku merasa diinginkan, aku tidak menolak. Aku membiarkan diri larut. Bukan karena cinta, tapi karena luka. Aku ingin membuktikan bahwa aku masih menarik, masih layak, dan bahwa dia tidak bisa mempermainkanku begitu saja.
Setelah semuanya terjadi, aku tidak merasa lebih baik. Aku merasa lebih hancur. Aku mulai membenci diriku sendiri. Aku sadar bahwa dengan membalas, aku tidak menyembuhkan luka—aku hanya memperdalamnya.
Aku akhirnya bicara pada pasangan. Tentang rasa sakit, tentang kemarahan, dan tentang kesalahan yang kami berdua buat. Kami tidak langsung pulih. Tapi kami mulai jujur. Kami mulai terapi. Kami mulai membangun ulang, bukan dari cinta yang manis, tapi dari kejujuran yang pahit.
Kini, aku tahu bahwa balas dendam bukanlah jalan keluar. Ia hanya membuat kita sama buruknya dengan orang yang menyakiti kita. Dan jika kita ingin sembuh, kita harus memilih jalan yang lebih sulit: memaafkan, atau pergi dengan kepala tegak.
Jadi, apakah selingkuh bisa terjadi karena balas dendam?
Jawabannya: bisa. Tapi itu bukan solusi. Itu hanya pelarian dari luka yang belum kita hadapi. Dan satu-satunya cara untuk benar-benar sembuh adalah dengan berani melihat luka itu, merawatnya, dan tidak membiarkan amarah mengendalikan arah hidup kita.
---
🔗 Referensi: