Kata pertama yang muncul ketika berita perselingkuhan viral: "Bodoh." Di kolom komentar, netizen sibuk membuat daftar dosa. Di grup WhatsApp, meme beredar seperti selebaran dakwah. Ada yang menunjukkan wajah pelaku dengan caption "Nafsu mengalahkan akal." Ada pula video remix dari rekaman CCTV yang diberi backsound lagu galau. Kreatif sekaligus mengadili.
Cerita ini bukan tentang pembenaran, tapi tentang kebingungan manusia ketika emosi bertabrakan dengan moral publik.
Namanya Kania. Seorang manajer kreatif di sebuah agensi, smart dan well-liked. Tapi satu unggahan Instagram mengubah segalanya. Ia terlihat makan malam dengan pria bukan suaminya---dirasa terlalu mesra, direkam oleh seseorang, lalu berakhir di akun gosip. Judulnya: *"Istri Orang Dijadikan Selimut Emosi, Masuk Neraka Nih."* Jumlah like: 80 ribu. Komentar: lebih pedas dari sambal habanero.
"Selingkuh itu pilihan bodoh," tulis satu akun.
"Kalau butuh validasi, ngaca dong, bukan pindah pelukan," tulis yang lain.
Bahkan ada yang menggambar karikatur Kania sebagai kucing liar di jalanan hati orang lain. Lucu. Menyakitkan. Viral.
Tapi tak ada yang tahu bahwa makan malam itu adalah momen pertama Kania menangis setelah berbulan-bulan merasa sendirian di rumahnya sendiri. Suaminya, Ivan, tak pernah kasar. Tapi dinginnya bisa membekukan ruang di antara mereka. Mereka bicara seperti rekan kerja---efisien, tanpa emosi. Kania pernah bilang, "Aku capek jadi dekorasi hidupmu," tapi Ivan hanya menjawab, "Nanti kita bahas."
"Nanti," yang tak pernah datang.
Lalu muncullah Ardy, teman lama yang kebetulan paham saat Kania bilang, "Aku lelah." Makan malam itu bukan pesta. Itu pelarian.
Bodoh? Mungkin. Tapi apakah semua yang bodoh itu tidak punya alasan?