Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Buku Puisi yang Membunuh 50.000 Kata di Rak Buku (Bagian 1)

25 Januari 2020   09:34 Diperbarui: 25 Januari 2020   09:57 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi (2020) Template: Canva

Barangkali saja puisi merupakan karya paling ganjil yang pernah dilahirkan manusia. Ia tidak diinginkan menjadi menu makan karena sedikitnya hidangan dari harganya yang mahal.

Misalkan kita di toko buku dan segera melupakan agenda membeli sebuah buku puisi karena buku cerita yang gemuk harganya setara. Ini kalkulasi kebutuhan ataukah keinginan makan kenyang di waktu bersamaan. Tepatnya, sesungguhnya ini bentuk sesat pikir karena melupakan esensi dan membuat persamaan dari hal berbeda.

Ukuran kenyang tentu saja tak bisa diperhadapkan pada banyaknya menu yang tersaji. Tujuan dari kenyang memenuhi kebutuhan. Mungkin, dengan asumsi ini, kita bisa bersikap adil pada buku puisi yang struktur kata di dalamnya masihlah lebih sedikit dengan sumpah serapah kita tiap kali mengomentari sesuatu di media sosial.

Sejauh ini, saya membaca buku puisi tidak sampai selusin. Sangat sedikit. Dan, itu ulah mempertahankan sesat pikir tiap kali berada di toko buku. Dari sedikitu buku puisi itu, saya kira telah memenuhi tugasnya sebagaimana jenis buku yang lain.

Sejudul puisi dengan sedikit kata namun padat makna itu, saya kira, jika harus dibandingkan dengan sejudul cerpen dengan 3.000 kata untuk tema. Persoalannya memang terletak pada medium yang digunakan dalam menyampaikan gagasan.

Saya ingin memulainya berdasarkan tahun pembelian. "Puisi adalah suara yang lain"  parafrasa inilah yang menjadi pemantik ingin membaca puisi. Saya lupa pernah membacanya di mana. Di tahun 2003 buku puisi penyair yang menuliskan parafrasa itu saya jumpai di toko buku Promedya di jalan Tentara Pelajar, Makassar yang sudah tutup.

Saya hendak mengisahkan strategi. Ceritanya begini: di hari pertama berkunjung ke toko buku itu dan melihat harga buku puisi yang tertera, saya ciut dan meletakkannya kembali ke rak. Di hari kedua, berselang beberapa hari kemudian, buku itu masih di rak yang sama dengan harga yang tidak berubah. 

Entah dari mana ide ini. memindahkan label harga buku yang murah ke buku puisi itu. Tetapi, itu saya lakukan juga tanpa dilihat penjaga. Setelah berhasil, saya meninggalkan toko buku dan balik beberapa hari kemudian. 

Di hari kedatangan saya kali itu, saya langsung menuju rak buku puisi itu dan, label harga yang yang telah kugantikan menempel rapa di sampul belakang. Segera saja membawanya ke kasir. 

Si kasir tampak bingung karena menemukan katalog harga di komputer berbeda. Keringat saya mulai bercucuran. Pencurian buku paling menakjubkan di dunia ini akan terbongkar di depan kasir bermata sayu yang baru saya lihat di toko buku itu.

Tuhan maha tahu, dan kali ini menunda kebenaran. Saya memenangkan pertaruhan siang itu. Buku puisi itu saya bawa pulang seharga buku resep masakan: 15.000. 

Itu buku kumpulan puisi dan esai pilihan Octavio Paz (Bentang: 2002). Diterjemahkan Arif B Prasetyo dari Octavio Paz: Selected Poems (Penguin Books, 1979), The Other Voice: Essays on, Modern Poetry (Harcourt Brace, Jovanovich, 1991) dan dari Nobel e-Museum. Gambar sampul oleh Agus Suwage dan didesain oleh Buldanul Khuri.

Di buku ini, selain puisi, juga ada pidato Paz sewaktu dianugerahi Nobel Kesusastraan tahun 1990. Puisi sebagai suara yang lain, menurut Arif yang juga membubuhkan pengantar bukanlah latar puisi Paz, sebagaimana yang diakui Paz sendiri, suara yang lain itu merupakan kesaksian tersendiri dalam lingkupan arus sejarah.

Masih di tahun 2003, enam bulan lebih awal, Pembawa Matahari (Bentang: 2002) karya Abdul Hadi WM. Buku ini merupakan Seri Pustaka Puisi dari Bentang yang fokus menerbitkan penyair terkemuka Indonesia. Tentu ada banyak penerbitan seri ini, namun hanya ini satu-satunya yang saya beli.

Keinginan membaca puisi Abdul Hadi WM karena terpantik dari namanya, akronim WM yang berarti Wiji Muthahari membawa asosiasi ke nama filsuf Murtadha Muthahhari. Abdul Hadi memang kerap dilabelkan dengan puisi bernafas sufisme. Di buku kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (Pustaka Firdaus). Lupa tahun terbit dan buku itu juga lupa entah di mana. Abdul Hadi banyak mengupas karya sastra yang lekat dengan nafas sufistik.

Sama halnya di buku puisi Pembawa Matahari, Abdul Hadi menampilkan larik yang dalam sebagai pengantar menuju ke pemikiran asal muasal kejadian dan penciptaan.

_

Setahun berselang, di tahun 2004 saya menjumpai Golf untuk Rakyat (Bentang: 1994). Kumpulan puisi Darmanto Jatman yang disatukan dari buku puisi yang telah terbit terpisah yakni Bangsat (12 puisi), Sang Darmanto (12 puisi), Ki Blakasuta Bla Bla (19 puisi),  Karto Iya Bilang Mboten (12 puisi), dan Golf untuk Rakyat (10 puisi). Oleh penerbit memilih judul terakhir sebagai judul kesatuan atas pertimbangan judul itu mewakili keberpihakan penyair pada situasi sosial.

Menilik tahun terbit dan tahun-tahun Darmanto menuliskan puisinya, bentuk puisinya unik dan campur aduk. Penggunaan bahasa Inggris, Indonesia dan Jawa melebur. Poros puisi semacam ini memang lebih baik jika dideklamasikan dan menikmati bagaimana sang penyair bemonolog di panggung.

Era Darmanto berjejak dimulai di medio 70 an. Karier akademisi berjalan seiringan membacakan puisi-puisinya di sejumlah tempat. Utamanya di TIM. Di zamannya, ia disebut sebagai salah satu pendekar puisi.

Nama Kuntowijoyo sudah akrab sebagai pemikir kebudayaan. Corak pemikirannya sering dibahas dan dijadikan patokan di meja diskusi dan obrolan di kalangan teman sejawat di tahun 2004. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, buku kumpulan esainya sudah saya baca setahun sebelumnya.

Heran saja melihat buku puisi tipis berjudul Isyarat (Pustaka Jaya: 2000. Cet. Ketiga) seharga 7.000. Kuntowijoyo penulis buku puisi itu. Berdasarkan tahun terbit, rupanya cetakan pertamanya di tahun 1976. Tapak tahun yang menunjukkan jika Kuntowijoyo telah lama memulai jalan sastra.

Kali ini di kota Sorong, di perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, saya menemukan Tirani dan Benteng (Yayasan Ananda: 1993). Perihal buku puisi ini sebelumnya sudah saya ketahui di beberapa ulasan yang saya baca di Majalah Horison atau di koran.

Tirani dan Benteng ini merupakan dua kumpulan puisi Taufiq Ismail yang disatukan. Inilah rekaman kesaksian Taufiq menyaksikan dan terlibat dalam melawan rezim Soekarno. Kira-kira dapat dikatakan seperti itu. Buku ini saya curi dari perpustakaan kampus itu di tahun 2006.

Membaca puisi Taufiq Ismail di tahun itu serasa terbang ke masa lampau duduk di depan layar kaca menyaksikan berita tentang aksi demonstrasi. Belakangan, setelah jelajah bacaan, cara pandang ikut berubah menerima kesaksian. Hal ini persoalan lumrah saja. Sebab, bukankah sudah seperti itulah dialektika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun