Mohon tunggu...
Fazri MaulanaAkbar
Fazri MaulanaAkbar Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sedang Merangkai

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Budaya Digital - Partisipasi Politik Virtual

26 Juli 2021   20:34 Diperbarui: 26 Juli 2021   21:16 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Budaya Digital

Partisipasi Politik Virtual

Dalam beberapa dekade terakhir ini, bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, kehidupan demokrasi telah termediasi sedemikian rupa. Perkembangan teknologi telah membawa demokrasi mengalami pergeseran dalam segi prakteknya. Era disrupsi perkembangan teknologi menjadi sebuah wahana pembaharuan pada setiap lini kehidupan. Perkembangan teknologi yang mampu menawarkan efisiensi ruang dan waktu menjadi sebuah pilihan utama. Pengaruh ini terlihat dalam perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Informasi yang didapatkan masyarakat tidak lagi berpusat kepada media massa konvensional, seperti media cetak. Akses mudah dan cepat sudah masyarakat dapatkan dari internet. Internet menjadi hasil dari perkembangan teknologi yang telah terjadi.

Internet sebagai media baru, membentuk wahana baru dalam proses keterlibatan masyarakat dalam mendapatkan informasi atau menyuarakan pendapat. Pada setiap fase perubahan politik, media memiliki konstribusi besar dalam membangun pemahaman masyarakat hingga perilaku politiknya. Tranformasi politik menjadi bagian dari konstribusi media. Evolusi yang terjadi pada perkembangan teknologi informasi akan menciptakan evolusi didalam dunia politik. Terutama terhadap praktik demokrasi. Merujuk kepada pemahaman konsep demokrasi, yang menitikberatkan terhadap partisipasi masyarakat, baik itu kebebasan menyuarakan pendapat, mendapatkan informasi, ataupun kebebasan media. Perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah membawa demokrasi mengalami pergeseran dari demokrasi offline ke arah demokrasi online. Masyarakat informasi yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi mulai bergerak membentuk ruang-ruang publik virtual sebagai sarana merepresentasikan kehendak dan menyatakan eksistensi mereka.

Arah demokrasi yang menjadi online bukan semata-semata secara keseluruhan ruang gerak berubah menjadi online. Demokrasi online harus ditindaklanjuti dengan demokrasi offline. Menurut Saco, dalam bukunya Cyberspace and Democracy : Spaces and Bodies in the Age of the Internet. Kehadiran internet memberikan peluang kembalinya demokrasi partisipatoris. Dengan datangnya era internet spirit demokrasi partisipatoris era Yunani bisa terulang kembali. Karena internet memfalisitasi rakyat untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses demokrasi. Dengan menggunakan internet, seseorang bisa menyuarakan aspirasinya secara langsung di dunia maya. Pentingnya partisipasi inilah yang menjadi roh demokrasi. Poin pentingnya terletak pada kemampuan publik untuk memanfaatkan informasi yang tersedia bagi pembentukan opini mereka terhadap masalah-masalah publik yang kemudian akan memengaruhi pembentukan kebijakan publik. Teknologi digital khususnya internet menawarkan efisisensi, efektifitas, transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas kepada demokrasi. Kecepatan dan kemudahan mendapatkan informasi menjadi dasar bagaimana partisipasi masyarakat menjadi lebih banyak dan beragam bahkan menyentuh ruang-ruang privat yang sempit. Kemudian, kemampuan teknologi untuk menjembatani jarak dan memperluas akses sehingga informasi tersedia dan dapat dimanfaatkan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Media sosial merupakan wahana baru yang dihasilkan oleh internet. Melalui media sosial setiap orang berkesempatan menyuarakan langsung pandangan mereka dan melemparkannya ke ranah publik. Dengan adanya media sosial, produksi dan penyebaran informasi kini tidak lagi dikuasai oleh media konvensional. Partisipasi politik dalam bentuk aktifitas elektoral bisa dilakukan dengan ragam media sosial seperti, Facebook, Twitter, Whatsaap, Istagram, dan lain-lain. Dengan media sosial, warga negara memiliki ruang partisipasi yang baru. Media sosial menjadi saluran akses informasi dalam berbagai bidang, yaitu pendidikan, budaya, sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Siapa pun dapat memproduksi informasi atau wacana sendiri, kemudian menyebarluaskannya dengan cepat. Kehadiran media sosial yang digunakan sebagai sumber informasi khalayak tersebut telah mengubah pola interaksi sosial atau interaksi antar individual. Perubahan pola interaksi antar individu tersebut disebabkan karena karakteristik media sosial memungkinkan setiap penggunanya tidak saja mengkomsumsi informasi, tetapi juga memproduksi informasi sekaligus mendistribusikan informasi tersebut.

Survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga kuartal II Tahun 2020, jumlah pengguna internet Indonesia ada 196,7 juta orang atau 73,7 %  dari total populasi Indonesia 266,9 juta dari total pengguna internet di Indonesia merupakan salah satu yang sering diakses. Data tersebut menunjukan bahwa setengah lebih penduduk Indonesia atau 196,7 juta dari 266,9 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial sebagai konten yang di akses untuk memenuhi segala kebutuhan informasi mereka. Besarnya jumlah pengguna media sosial dan iklim demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat di Indonesia menjadikan aktivitas di media sosial menjadi tinggi, cepat, dan seketika. Karakteristik media sosial yang spesifik dalam iklim demokrasi yang bebas tersebut, aktivitas media sosial di Indonesia menjadi sangat dinamis. Ruang media sosial tersebut memang menjadi sebuah wahana baru dalam partisipasi masyarakat. Dalam upaya meningkatkan partisipasi, media sosial menjadi sebuah alat menarik dalam lingkup politik.

Layaknya sebuah lingkungan, setiap tempat yang terdapat manusia didalamnya kemudian membentuk sebuah komunitas masyarakat, pasti memiliki budaya atau adat istiadat didalamnya. Di Indonesia budaya menjadi sebuah karakteristik dari setiap masyarakat dan membentuk keragaman. Begitupun halnya dengan media sosial, lingkungan baru dengan pengguna yang beragam membentuk sebuah budaya yang baru, budaya digital. Budaya digital ini menciptakan hal yang paling fundamental yaitu kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat ini sebagai keniscayaan sistem demokrasi. Penekanan terhadap partisipasi masyarakat merupakan faktor pendorong dalam proses budaya digital ini. Percepatan informasi yang didapatkan dengan tingkat efisiensi yang tinggi menjadikan media sosial sebagai wahana partisipasi masyarakat yang menarik. Namun, hal ini bukan tanpa masalah, kesadaran tentang pentingnya partisipasi masyarakat tapi tidak diimbangi dengan aturan yang jelas. Keluar masuknya informasi yang cepat, tinggi dan besarnya aktifitas di media sosial tersebut tidak jarang kemudian memicu dan memacu ketegangan antara pengguna media sosial, seperti twitter, facebook, whatsaap ataupun Instagram. Ketegangan tersebut digerakan oleh kerja aktor yang dikenal sebagai opinion maker di media sosial. Aktor sebagai perantara yang membuat aktivitas di media sosial dinamis tersebut saling menstimulasi aktor lainnya. Saling stimulasi antar aktor dalam satu kelompok kepentingan dengan aktor lainnnya yang melakukan hal serupa pada kelompok yang berbeda pada titik tertentu dapat memicu perang siber (cyber war).

Media sosial yang menjadi wahana baru bentuk partisipasi masyarakat, juga memunculkan istilah baru, seperti hoax, Ujaran kebencian atau makar, ataupun buzzer. Wahana memang tidak selamanya menjadi sesuatu yang menyenangkan atau seperti wadah yang kadang terdapat kebocoran. Melihat realitas virtual pada ruang komentar online, justru berbanding terbalik, dimana terdapat beberapa karakter melekat yang ditunjukan pada kegiatan komentar- mengkomentarinya. Misalnya, pengabaian budaya debat rasional, kesantunan dalam berkomunikasi, budaya saling menghargai, dan penurunan hubungan sosial kemanusiaan. Keadaan tersebut acapkali menjadi sebuah dasar konflik mulai terjadi, kendati kebebasan menyampaikan pendapat dilindungi dalam sebuah negara demokrasi, tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Sebuah budaya digital dengan kebebasan berpendapat didalamnnya seringkali diartikan dengan kekebebasan yang berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya. Perlu adanya sebuah regulasi yang bisa mengatasi keadaan tersebut. Regulasi tidak berarti menghilangkan esensi dari sebuah demokrasi, tetapi memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi masyarakat. Karna realitas kehidupan yang sebenarnya saling berkaitan satu sama lain.

REFERENSI

Andriadi, Fayakhun .2017. Partisipasi Politik Virtual : Demokrasi Netizen Indonesia. Jakarta: RMBOOKS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun