Mohon tunggu...
Fazar Rifqi As Sidik
Fazar Rifqi As Sidik Mohon Tunggu... Dosen UIN SGD Bandung

Senang dengan dunia pendidikan berserta isinya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hidup Santai On The Track: Melawan Syndrom "Gak Enakan"

30 September 2025   15:51 Diperbarui: 30 September 2025   15:51 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia kampus selalu membawa warna baru bagi para mahasiswa yang baru melangkah masuk. Ada semacam gegar budaya: dari pola pikir sekolah menengah yang serba diarahkan, kini mereka dihadapkan pada kompleksitas sosial, persaingan akademik, hingga kebingungan mencari identitas diri. Tidak jarang, semua itu melahirkan perasaan canggung, bingung, bahkan overthinking.

Dalam sebuah sesi dialog kelas, seorang mahasiswa mengangkat tangan dan bertanya, "Pak, bagaimana cara merubah perasaan gak enakan terhadap orang lain?" Pertanyaan sederhana yang meluncur begitu polos itu sontak membuat ruangan terdiam. Seakan-akan, semua orang di kelas memahami dan mungkin sedang merasakannya. Itulah potret nyata mahasiswa baru hari ini, mereka berhadapan dengan sindrom "gak enakan" yang kerap menjelma menjadi beban psikologis: takut menolak ajakan, takut mengecewakan, hingga akhirnya hidup dalam lingkaran overthinking.

Psikologi menyebut kondisi ini dengan istilah people-pleasing: kecenderungan menaruh kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri sendiri. Menurut Bjelland (2022), perilaku ini bila berlarut dapat memicu stres kronis, kelelahan emosional, bahkan depresi. Orang yang terjebak dalam pola ini seolah dipaksa menjadi "malaikat" yang tidak boleh salah, padahal hidup tidak menuntut kita sempurna di mata semua orang.

Data pun memperlihatkan fenomena ini nyata. Sebuah penelitian di Indonesia menemukan adanya korelasi signifikan (r = 0,541) antara kepribadian introvert dan rendahnya kepercayaan diri mahasiswa, yang berimbas pada sulitnya menolak dan rentan "gak enakan" (Jurnal MBI, 2020). Di Tiongkok, penelitian Li dkk. (2024) menunjukkan kecenderungan people-pleasing berkorelasi dengan meningkatnya kecemasan dan menurunnya harga diri mahasiswa.

Jika dibiarkan, sikap "gak enakan" justru bisa menggerus prinsip hidup. Orang yang selalu mengiyakan setiap permintaan, lama-lama kehilangan pijakan. Hidupnya diatur oleh orang lain, bukan dirinya sendiri. Pada titik ini, kelelahan emosional hadir, ditambah rasa getir: "hidup kok rasanya bukan milikku lagi."

Di sinilah pentingnya menata kadar dalam hidup. Analogi sederhana: madu bermanfaat bila diminum secukupnya, tapi bisa jadi mudarat bila berlebihan. Sama halnya dengan berbuat baik,ia akan menjadi kebaikan jika sesuai kadar, tapi bisa berubah jadi racun bila melampaui batas. Filsafat Cina mengenal konsep yin dan yang: hidup selalu berputar antara kutub positif dan negatif, bukan untuk saling meniadakan, melainkan untuk saling melengkapi. Maka, berbuat baik dan menolak permintaan orang lain sejatinya bukan kontradiksi, melainkan keseimbangan.

Mark Manson dalam The Subtle Art of Not Giving a Fu*k (2016) mengingatkan bahwa kita harus selektif dalam menentukan apa yang pantas kita pedulikan. Tidak semua hal harus kita ladeni. Justru, kesehatan jiwa ditentukan oleh kemampuan berkata "tidak" pada hal-hal yang tidak sejalan dengan kapasitas dan prinsip kita.

Lalu, bagaimana agar mahasiswa bisa hidup santai tapi tetap on the track? Ada beberapa langkah sederhana: mulai dari orang terdekat dengan berani berkata jujur ketika belum bisa membantu; melatih diri menolak dari hal-hal kecil; membangun prinsip diri dengan menuliskan nilai hidup yang menjadi kompas; memberi ruang jeda untuk diri sendiri; dan bila perlu, mencari bantuan profesional melalui konseling kampus.

Hidup santai tapi on the track pada akhirnya adalah seni menjaga keseimbangan. Santai berarti tidak terjebak dalam jeratan ekspektasi orang lain, sementara on the track berarti tetap setia pada jalur nilai dan prinsip diri. Hidup bukan tentang menjadi sempurna di mata semua orang, melainkan tentang menjadi cukup bagi diri sendiri, tanpa kehilangan arah.

Maka, ketika rasa "gak enakan" datang, ingatlah: kita tidak sedang diminta menjadi malaikat yang selalu benar. Kita hanya sedang belajar menjadi manusia yang seimbang, yang tahu kapan harus memberi, kapan harus menolak, dan kapan harus sekadar tersenyum sambil menjaga diri.

Penulis: Fazar Rifqi As Sidik, M.Pd. (Dosen yang dulunya sempat mengalami sindrom "gak enakan" ketika menjadi Mahasiswa)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun