Gelombang demonstrasi nasional yang mewarnai Indonesia pada akhir Agustus 2025 telah menjadi peringatan keras: rakyat muak dengan ketimpangan yang terus dibiarkan. Isu tunjangan rumah anggota DPR hanyalah percikan api—yang membakar tumpukan kekecewaan struktural, kultural, dan prosedural yang telah lama menumpuk.
Fenomena ini harus dipahami lebih dari sekadar peristiwa politik sesaat. Ia merupakan cermin kegagalan sistemik dalam membangun keadilan sosial yang inklusif.
1. Struktur yang Tidak Setara
Kesenjangan antara pusat dan daerah masih sangat nyata. Pembangunan terpusat di Pulau Jawa, sementara wilayah lain tertinggal dalam infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik. Kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan difabel juga terus terpinggirkan karena rendahnya representasi dalam kebijakan.
Demonstrasi kemarin yang menyebar ke berbagai daerah adalah akumulasi ketidakadilan tersebut. Ketika rakyat melihat elit politik mendapat tunjangan mewah, sementara mereka sendiri berjibaku dengan harga kebutuhan pokok, ketimpangan ini menjadi tak tertahankan.
2. Kultur Politik yang Elitis
Budaya patronase politik di Indonesia masih sangat kuat. Kebijakan cenderung dibuat untuk melindungi kepentingan elit ketimbang rakyat. Demonstrasi 28 Agustus 2025 yang menewaskan Affan Kurniawan—seorang pengemudi ojek online—memicu kemarahan publik dan memunculkan solidaritas luas lintas kelompok sosial.
Simbol “sapu” yang dibawa oleh massa perempuan dalam demo di Jakarta adalah pesan kuat: rakyat ingin membersihkan sistem dari korupsi, kekerasan, dan arogansi kekuasaan. Ini bukan hanya kritik, tetapi tuntutan perubahan kultur politik menuju keadilan dan kesetaraan.
3. Proses yang Tidak Partisipatif
Kebijakan pembangunan masih dibuat secara top-down, tanpa partisipasi nyata dari masyarakat. Forum publik seringkali hanya formalitas. Dalam praktiknya, bantuan sosial salah sasaran, dana desa tidak transparan, dan anggaran mudah diselewengkan.
Proses represif juga terjadi. Penggunaan gas air mata di dekat kampus, penangkapan massal, hingga laporan belasan orang hilang menunjukkan bahwa sistem masih alergi terhadap kritik. Padahal, aspirasi rakyat seharusnya menjadi inti dari proses pembangunan itu sendiri.