Mohon tunggu...
Fauzi Ilmi
Fauzi Ilmi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@fauzi_ilmii

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hati-hati dengan UPAL

10 Oktober 2014   00:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:41 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu masalah klasik dalam perekonomian yang belum terpecahkan hingga saat ini adalah uang illegal atau yang lebih familiar dikenal dengan sebutan uang palsu (UPAL). Permasalahan ini telah ada sejak masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan (Aziz, 2004:129), bahkan selalu tumbuh setiap kurun waktu dan berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi.

Di Indonesia, fenomena pengedaran uang palsu bukanlah hal yang baru dan terus berlanjut seiring berputarnya waktu, tak ubahnya hujan deras mengguyur padang gersang. Sebagaimana yang dikabarkan dalam majalah republika, bahwa Bank Indonesia (BI) Pekanbaru mengungkapkan temuan uang palsu di Riau selama tahun 2012 mencapai Rp 26,51 juta atau meningkat sekitar 86 persen dibanding tahun 2011.

Peneliti Ekonomi Madya BI Pekanbaru, Abdul Majid Ikram mengatakan, "Dibanding dengan tiga tahun terakhir, temuan uang palsu di Riau pada 2012 meningkat drastis dengan nominal Rp 26,51 juta,". Tidak hanya di Riau, pemalsuan dan pengedaran uang palsu (UPAL) juga terjadi di setiap wilayah bahkan di setiap desa, seperti yang telah diberitakan dalam majalah republika, di sana dikabarkan bahwa Kepolisian Resor (Polres) Jember, Jawa Timur, menangkap dua pelaku yang diduga sindikat pengedar uang palsu. Keduanya ditangkap saat turun dari bus di Terminal Tawang Alun kabupaten setempat. Setelah diperiksa polisi, ternyata di dalam tas mereka ada ratusan pecahan Rp 100 ribu uang palsu sebanyak 499 lembar, sehingga totalnya Rp 49.900.000 (Republika.co.id, kamis, 17/3)

Dari fenomena tersebut, tulisan singkat ini akan mencoba sedikit menjelaskan bagaimana dampak pemalsuan dan pengedaran uang palsu terhadap perekonomian, serta bagaimana pandangan Islam terkait uang palsu.

Implikasi Uang Palsu Terhadap Perekonomian

Mencuri uang adalah suatu kemaksiatan yang jika dikerjakan hanya orang yang mencurilah yang berdosa, selain itu tidak ada lagi. Akan tetapi mengedarkan uang palsu adalah perbuatan dosa yang bersambung, yaitu sejak pembuat pertama sampai kepada yang menerima, bahkan sampai kepada yang terakhir menerima uang tersebut, selama uang itu masih beredar di tengah-tengah masyarakat (Aziz, 2004). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, ia berkata: Rasulullah bersabda yang artinya:

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Pada dasarnya, pemalsuan uang sama dengan penipuan uang. Pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan tertua dan membutuhkan struktur yang tersusun rapi. Kejahatan ini dapat merugikan kepentingan perekonomian nasional, merugikan negara dan mencoreng citra Negara. Korban pertama kejahatan pemalsuan uang ini adalah masyarakat dan pada gilirannya akan berpengaruh pada perekonomian negara.

Salah satu dampak serius yang timbul dari tindakan kriminal ini adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap uang. Dampak negatif bagi masyarakat, terutama bagi kalangan bawah yang merupakan pengguna terbesar uang tunai yang umumnya hidup dalam kemiskinan harus bertambah menderita akibat tertipu dengan adanya uang palsu. Hal ini tentu akan membuat mereka semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Selain itu, uang palsu juga bisa mendorong tindakan kriminal lain seperti pencucian uang, pembiayaan kegiatan terorisme dan politik uang, yang pada akhirnya dapat merusak perekonomian Negara. (Asmoro, 2009).

Selaras dengan hal di atas, Imam Nawawi (w. 676 H/1227 M) yang juga salah satu pakar fiqh pendukung madzhab Syafi’i, menyebutkan dalam bukunya al-Majmu’, (dalam bab zakat emas dan perak) bahwa otoritas pencetakan uang dinar dan dirham adalah termasuk tugas kepala Negara (pemerintah). Karena itu, sangat dilarang bagi warga Negara mencetak uang, meskipun terbuat dari emas dan perak yang murni pula. Karena jika rakyat diizinkan untuk mencetak uang maka akan menimbulkan dampak negative, pertama, memberikan peluang dalam percetakan uang dengan mencampurkan emas yang murni dengan yang rendah mutunya, kedua, dapak merusak nilai mata uang bahkan dapat menyebabkan naiknya harga secara umum (inflasi) (Aziz, 2004).

Uang Palsu (UPAL) Perspektif Islam

Mekanisme pemalsuan uang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada dasarnya baik teknik-teknik pemalsuan yang sederhana sampai kepada yang menggunakan teknologi canggih, dapat dimanfaatkan dalam upaya-upaya pemalsuan atau peniruan. Pemalsuan uang dilakukan dengan cara peniruan (conterfeiting) yaitu dengan cara mereproduksi atau meniru suatu dokumen secara utuh. Pelaku berupaya agar hasil initasi mempunyai kemiripan dengan yang asli. Akan tetapi mengingat uang kertas mempunyai tingkat sekuritas yang tinggi dan mahal, maka biasanya uang hasil tiruan mempunyai kualitas jauh lebih rendah (Wibowo, 2005).

Pemalsuan uang -yang dilakukan di luar cetakan milik Negara- pernah terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Beliau bermaksud menjatuhkan hukuman atas pelakunya dengan hukuman potong tangan. Namun kemudian diubahlah hukuman tersebut menjadi ta’zir saja. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga terjadi pemalsuan dan pengedaran uang palsu di luar wewenang Negara, beliau menjatuhkan hukuman pada pelakunya dengan hukuman penjara dan menyita seluruh alat percetakan uang palsu miliknya (Ibrahim, 2000).

Menurut salah satu pakar fiqh ternama di Madinah, Said bin Musyayyab (w. 94 H/712 M) bahwa yang berwenang menerbitkan uang hanya penguasa. Apabila ada salah seorang yang tidak mempunyai wewenang -dalam mencetak dan menerbitkan- melakukan hal tersebut, maka yang bersangkuan telah melakukan tindak kriminal. Selain Said bin Musyayab, Abu ya’la menyebutkan dalam bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyah, bahwa Ahmad bin Hambal menyatakan, “mencetak uang tidak pantas dilakukan kecuali di Daradh Dharbi (lembaga percetakan uang)) dengan izin pengusaha, karena jika masyarakat dibolehkan mencetak uang tertentu maka mereka akan melakukan pelanggaran-pelanggaran besar”. (Aziz, 2004).

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul ihya’ ulumiddin menyatakan bahwa pada dasarnya dalam pembuatan uang yang dilakukan tanpa izin dari pengusaha adalah dilarang oleh agama Islam. Dengan demikian, para pemalsu dan pengedar uang palsu tersebut harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara tersebut (al-Ghazali, 87).

Oleh karena itu, fenomena pemalsuan dan pengedaran uang palsu tidak hanya harus ditangani secara serius oleh pemerintah saja, tetapi perlu adanya kesadaran dari masyarakat setempat, baik masyarakat akademisi ataupun non akademisi. Dari pemerintah perlu adanya langkah optimalisasi penegakan hukum yang kaffah dan dari masyarakat non akademisi harus sadar dan menyadari bahwa pemalsuan dan pengedaran uang palsu memberikan dampak negative bagi Negara, khususnya bagi masyarakat itu sendiri. Kesadaran ini dapat diaplikasikan dengan cara tidak memalsukan uang dan tidak mengedarkannya ketika ia menerima uang illegal/upal.

Sedangkan dari akademisi, perlu adanya langkah konkrit dalam menyadarkan masyarakat, Langkah tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi penyuluhan atau sosialisasi secara langsung melalui ucapan ataupun tulisan yang menjelaskan bahwa pemalsuan dan pengedaran uang palsu selain dilarang oleh agama, juga berdampak negative bagi Negara secara umum dan bagi masyarakat secara khusus.

Penutup

Setelah pemaparan yang sangat sederhana di atas, kiranya penulis akan menutup tulisan ini dengan beberapa himbauan yang diambil dari pemikiran Imam Ghazali dalam kitab fenomenalnya yang berjudul ihya’ ulumiddin. Himbaun tersebut kurang lebih adalah, pertama, apabila seseorang telah mengetahui bahwa uang itu palsu, maka harus secepatnya dilenyapkan atau dilaporkan kepada pihak yang berwajib, agar dapat diselidiki lebih luas, karena dimungkinkan bukan uang itu saja yang beredar. Kedua,bagi setiap orang, khususnya bagi para pedagang, alangkah baiknya jika belajar mengetahui bagaimana cara membedakan antara uang asli dan uang yang palsu agar peredarannya dapat dibatasi sebab pedagang mempunyai peranan yang cukup besar dalam peredaran uang, dengan tujuan untuk memperkecil gerak peredaran uang palsu tersebut.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun