Mohon tunggu...
FAUZI ABDULLAH
FAUZI ABDULLAH Mohon Tunggu... -

Seorang Mahasiswa Antropologi FISIP USU dan Mahasiswa Ilmu Hukum jurusan Hukum Acara UMSU, Medan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita yang Gagal!

7 September 2015   17:54 Diperbarui: 7 September 2015   18:06 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Capture dari website dengan editan blok berwarna di bagian wajah"][/caption]

 

Anak-anak tetaplah anak-anak.

Terkait kasus "kekerasan" / "pembullyan" yang kabarnya dari sekolah di Kota Binjai, Sumatera Utara. Pelaku, penyebar video kabarnya juga dibawa ke ranah hukum?

Ya, Negara ini punya segudang Undang-undang untuk menjerat mereka yang bermain di mata hukum. Tapi, negara ini tak punya peran untuk menjerat rakyatnya penyebar seenak perutnya terkait aib orang lain.

Kita punya guru-guru yang hampir setiap harinya berhadapan dengan siswa-siswi ini. Kita punya beragam instansi yang fokus pada pendidikan dari kementerian hingga Dinas Pendidikan. Kita punya beragam LSM yang rajin selenggarakan pelatihan seputar pendidikan. Anak-anak tetaplah anak-anak, mereka tidak salah, kita yang gagal!

Sudah terlanjur, muka anak-anak terpampang luas sudah. Salah satunya media ini yang sengaja mengcapture jelas muka si anak (foto di website tidak ada blok berwarna merah di bagian wajah). Dari tayangan video padahal beberapa adegan banyak yang bisa dipilih agar muka si anak tak terpampang jelas. Kalau sudah begini, mau sampai mana masa depan mereka?

Anak-anak tetaplah anak-anak. Kita tumbuh sampai sekarang bermula dari usia anak-anak. Dari kenakalan-kenakalan yang pasti pernah kita lakukan, dan kita bawa menjadi pelajaran hingga sedewasa yang kita harap. Kalau lah ini, adik atau saudara kita, layak kah dibeginikan?

Dalam kutipan isi berita ada tertuliskan, "Ironis, karena selain mengenakan jilbab, pelaku masih berusia sangat belia". Ada penekanan kata ironis dan mengenakan jilbab. Apa sudah tidak ada lagi pilihan kata-kata redaksi yang lebih arif? Apa jurnalisme kita sudah sedemikian parah?

Dimana jurnalisme empati bersembunyi. Media yang menerapkan jurnalisme empati mampu menempatkan narasumber sebagai manusia yang memiliki perasaan dan patut untuk dihargai. Bila tidak, tak sadar bahwa tak cuma sinetron bahkan media pemberitaan pun memberi pendidikan buruk pada anak, pada masyarakatnya. Termasuk untuk media online, meskipun mengandalkan kecepatan, setidaknya melewati 2x proses penyaringan, saringan oleh wartawan yang menulis dan redaktur online yang mengkoreksi. Sepantasnya kita yang lebih bijaksana.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun