Perkawinan atau pernikahan dalam bahasa arab berasal dari kata dan bermakna yang -- -- yang artinya berkumpul. Makna yang serupa juga dekemukakann oleh Wahbah az-Zuhaili yaitu bermakna aqad dan hubungan suami istri. Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal as-Syakhshiyah mengatakan bahwa pengertian nikah yang dikemukana oleh ulama klasik biasanya hanya berputar suputar akad nikah sebagai salah satu cara untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tidak dapat dipungkiri ini merupakan salah satu tujuan kenapa islam mensyariatkan pernikahan, bahkan mungkin kita bisa mengatakan ini tujuan yang paling jelas yang bisa dipahami oleh khalayak umum.Â
Beberapa pendapat Ulama Imam Madzhab tentang pernikahan diantaranya:
Imam hanafi
Ulama Hanafiyah mengeluarkan pendapat perempuan hamil dikarenakan zina maka tidak ada masa iddah baginya. Karena iddah bertujuanmenjaga nasab sehingga seorang pria boleh menikah dengan perempuan hamil tanpa harus menyelesaikan masa iddah nya Adapun laki-laki (bukan pasangan zina perempuan) menikahi perempuan tersebut, ia tidak boleh menggaulinya sampai ia melahirkan". Dalam lafal ini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam perkawinan Perempuan hamil dihukumi sah dengan syarat laki-laki yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya. Jika perempuan tersebut dinikahi oleh pria lain hukum perkawinannya sah, namun pasangan tersebut tidak boleh jima' (hubungan seksual) hingga perempuan tersebut melahirkan. Adapun alasan hukum perempuan hamil di luar nikah tidak memiliki masa iddah adalah masa iddah nya bertujuan untuk menjaga nasab, sehingga seorang pria boleh melakukan perkawinan dengan perempuan hamil tanpa menunggu masa iddah nya. Hal tersebut membuktikan bahwasanya perempuan hamil yang diakibatkan zina bukan termasuk kalangan perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi, maka dari itu perempuan hamil boleh menikah.
Imam maliki
Berbeda dengan mazhab Syafi'iyah dan mazhab Hanafiyah, mazhab Malikiyah memiliki padangan hukum yang berbeda. Pendapat Imam Malik bin Anas secara mutlak mengharamkan melakukan kawin hamil. Karena hukum menikahi perempuan hamil yang diakibatkan zina tidak sah, walaupun yang menikahinya pria yang menghamilinya ataupun pria yang bukan menghamilinya. Argumentasi hukumnya adalah perempuan hamil karena zina diposisikan sebagai hubungan seksual syubhat (hubungan seksual sebelum akad nikah). Status perempuan hamil tersebut seperti perempuan hamil yang ditalak ba'in dan cerai mati, maka ia mempunyai masa iddah selayak iddah perempuan yang ditalak ba'in dan cerai mati.
Imam Syafi'i
Mazhab ini mengemukakan pendapat bahwa mengawini seorang perempuan hamil di luar nikah hukumnya diperbolehkan, akan tetapi tidak boleh menyetubuhi perempuan hamil tersebut sebelum ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Ulama Syafi'iyyah memahami firman Allah dalam surat an-Nur ayat 23 dan 24 bahwa perempuan yang dilarang dikawini dalam ayat ini bersifat umum. Ayat tersebut tidak merinci apakah larangan berlaku menikahi perempuan zina atau perempuan hamil diluar nikah. Maka kawin hamil dalam Madzab Syafi'I dihukumi sah saat syarat-syarat perkawinan terpenuhi dan perempuan tersebut tidak tidak dianggap mempunya masa iddah. Oleh karenanya, pasangannya boleh menggaulinya.
Imam Hambali
Mazhab Hanbali memiliki kesamaan pendapat dengan Mazhab Malikiyah. Hal ini disinyalir dari pendapat Imam Ahmad bahwa perempuan yang diketahui berzina dia haram untuk dinikahi dengan pria yang berzina dengannya ataupun dengan pria yang tidak berzina dengannya. Seorang perempuan pezina baik yang sedang hamil maupun tidak, seorang pria tidak boleh menikahinya kecuali dua syarat terpenuhi yaitu: 1. Perempuan itu menghabiskan masa 'iddah-nya, jika ia hamil maka waktu 'iddah itu sampai anak yang dikandungnya lahir dan hukumnya haram jika dikawini sebelum masa 'iddah itu selesai, 2. Bertobatnya perempuan dari perbuatan yang telah ia lakukan, jika belum bertobat maka haram menikahinya.
KHI