Halo para pembaca Kompasiana! Perkenalkan, saya Jodie, seorang mahasiswa yang punya mimpi kecil tapi kokoh: menciptakan sesuatu yang berbeda dan bermanfaat. Sebenarnya, ide wirausaha ini berawal dari... yah, bisa dibilang gabungan antara kebutuhan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewirausahaan dan keinginan iseng untuk mencoba hal baru.
Pemicunya sederhana: Bali! Pulau yang selalu memancarkan pesona, tapi juga menyimpan PR besar soal lingkungan. Saya sering melihat sampah berserakan, atau souvenir yang itu-itu saja, kurang punya cerita. Dari sanalah, secercah ide mulai muncul: kenapa tidak membuat souvenir yang bukan cuma cantik, tapi juga "bercerita" dan ramah lingkungan? Sebuah ide yang tadinya hanya "iseng" kini bersemi menjadi sebuah tantangan seru.
Awalnya, seperti mahasiswa pada umumnya, ide bisnis kami berputar di sekitar hal-hal yang lazim. Ingat sekali, saat presentasi business plan pertama, ide kami adalah asbak khas Bali. Lumayan, kan? Tapi, dosen pengampu kami, bu dosen, memberikan masukan yang jleb tapi membangun. "Jangan hanya asbak Bali," kata beliau, "kalau bisa souvenir yang berciri khas, bisa dikenang, dan bisa dibawa ke mana-mana." Masukan itu seperti percikan api yang menyulut semangat kami untuk berpikir lebih jauh.
Dari sana, diskusi panjang pun dimulai. Kami mulai riset, melihat tren, dan mencoba memahami apa sebenarnya yang dibutuhkan pasar. Kami yakin, Bali butuh souvenir yang lebih dari sekadar pajangan. Kami ingin menciptakan sesuatu yang membangkitkan memori, yang praktis, dan yang paling penting, tidak membebani lingkungan. Orang-orang terdekat, terutama teman-teman kelompok, punya kontribusi penting dalam proses brainstorming ini. Saling lempar ide, kadang gila, kadang brilian, sampai akhirnya mengerucut pada konsep souvenir ramah lingkungan yang punya nilai sentimental.
Mewujudkan ide dari nol itu rasanya campur aduk: semangat membara, tapi juga deg-degan bukan main. Proses awal memulai usaha ini bisa dibilang cukup "gerilya". Modal? Awalnya dari patungan seadanya alias uang jajan mahasiswa! Tidak banyak, tapi cukup untuk uji coba produksi skala kecil. Tempat produksi pun masih "nebeng" di kosan atau rumah salah satu anggota tim. Tim kerja? Jelas, ini tim solid teman-teman sekelas yang punya semangat sama.
Tantangan di awal? Wah, jangan ditanya! Selain modal yang pas-pasan, kami sempat diremehkan beberapa orang. "Mau bikin apa sih? Bisnis mahasiswa paling cuma anget-anget tai ayam," begitu kira-kira cibiran yang sampai di telinga. Ada juga kesulitan mengatur waktu antara kuliah, tugas lain, dan mengurus bisnis ini. Pernah juga ide awal kami tidak mendapat respons seantusias yang kami harapkan dari teman-teman yang kami ajak diskusi. Tapi, respons dari beberapa orang terdekat yang memberikan dukungan dan semangat justru jadi bahan bakar kami untuk terus melaju. Mereka bilang, "Terus aja, siapa tahu beneran jadi!" Kata-kata sederhana itu ternyata punya kekuatan luar biasa.
Jatuh bangun di awal perjalanan wirausaha? Tentu saja! Salah satu kesalahan fatal di awal adalah kami terlalu fokus pada desain yang terlalu rumit sehingga proses produksi jadi lambat dan biaya membengkak. Hal ini sempat menghambat perjalanan kami. Tapi, dari situ kami belajar bahwa kesederhanaan kadang jauh lebih efektif. Pengalaman penting lainnya adalah pentingnya riset pasar yang mendalam. Jangan cuma berasumsi, tapi benar-benar pahami apa yang konsumen inginkan dan butuhkan.
Kami juga menyadari bahwa belajar itu tidak ada habisnya. Kami terus belajar dan bertumbuh. Belajar otodidak melalui video tutorial di YouTube tentang desain produk dan packaging ramah lingkungan. Membaca biografi pengusaha sukses untuk mencari inspirasi. Dan yang paling penting, tidak sungkan bertanya pada ahlinya atau berkonsultasi dengan dosen pembimbing kami. Mereka adalah mentor berharga yang selalu siap memberikan masukan.
Pencapaian Pertama:
Rasanya seperti ada kembang api di dalam dada saat momen itu tiba: mendapat pelanggan pertama! Ya, bukan omzet miliaran atau ikut bazaar besar, tapi satu pesanan pertama dari orang yang tertarik dengan souvenir ramah lingkungan kami. Perasaan saat itu? Luar biasa bahagia dan bangga! Seperti ada validasi bahwa apa yang kami kerjakan tidak sia-sia. Itu memberikan dampak besar bagi kepercayaan diri kami. Dari yang awalnya ragu, kini kami semakin yakin bahwa ide ini punya potensi. Setelah itu, perlahan tapi pasti, pesanan mulai berdatangan, bahkan ada beberapa yang datang dari luar Bali melalui promosi kecil-kecilan di media sosial.
Karena bisnis ini berawal dari tugas mata kuliah, pertanyaan selanjutnya tentu: apakah akan tetap dijalankan setelah lulus matkul ini? Jawabannya, YA, tentu saja! Ini bukan hanya sekadar tugas, ini adalah cikal bakal mimpi kami. Tantangan mengatur waktu dengan kesibukan perkuliahan tentu ada. Kami berencana untuk membuat jadwal yang lebih terstruktur, mendelegasikan tugas lebih efektif dalam tim, dan mungkin mencari bantuan paruh waktu jika memang diperlukan.