Di atas kertas, negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, atau Inggris tampak sempurna. GDP tinggi, teknologi canggih, umur panjang. Namun di balik pencapaian itu, ada sisi gelap yang kerap tersembunyi: kesepian, tekanan mental, dan rapuhnya koneksi sosial. Inilah ironi kesejahteraan modern yang coba diungkap oleh studi Global Flourishing Study.
Jepang: Negara yang Teratur Tapi Sunyi
Meski terkenal dengan umur panjang dan fasilitas publik yang luar biasa, Jepang justru menempati posisi paling bawah dalam indeks flourishing. Salah satu faktornya: fenomena kesepian ekstrem, seperti 'hikikomori'---orang yang mengurung diri di kamar bertahun-tahun. Belum lagi angka bunuh diri yang tinggi di kalangan lansia dan remaja. Hidup di tengah kota besar tidak menjamin hangatnya hati.
Amerika Serikat: Mewah Tapi Mahal untuk Bahagia
AS punya ekonomi raksasa, tetapi akses kesehatan mental yang mahal, budaya kerja tanpa henti (hustle culture), dan individualisme akut membuat banyak warganya merasa terasing. Menurut data Gallup dan CDC, jutaan warga AS mengalami depresi ringan hingga berat, meskipun secara materi mereka cukup atau bahkan sangat mapan.
Inggris dan Negara Eropa: Sejahtera Tapi Terisolasi
Di Inggris, pemerintah bahkan pernah menunjuk Menteri Kesepian (Minister for Loneliness)Â untuk mengatasi meningkatnya perasaan terisolasi, terutama di kalangan lansia. Tinggal sendiri bukan gaya hidup eksklusif, tapi cermin dari hilangnya relasi bermakna.
Kisah ini menunjukkan bahwa kesejahteraan tak bisa diukur hanya dengan angka---apalagi angka rekening. Makin banyak masyarakat maju yang sadar, bahwa ada harga mahal yang dibayar dalam proses pembangunan: tercerabutnya manusia dari relasi, makna, dan spiritualitas.
Di sinilah letak pelajaran besar: membangun negara bukan hanya soal infrastruktur dan ekonomi, tapi juga tentang menjaga jiwa kolektif masyarakat tetap hidup. Dan dalam hal itu, Indonesia punya sesuatu yang ingin---dan perlu---dipelajari dunia.
Menjaga Keajaiban yang Sering Kita Anggap Biasa
Kita hidup di negeri yang penuh keajaiban kecil---yang sering luput dari perhatian karena terlalu akrab. Sapaan tetangga setiap pagi, tumpengan saat ada syukuran, bantuan spontan saat bencana, atau sekadar membukakan pintu untuk orang asing yang kehujanan. Di negara lain, mungkin ini dianggap "luar biasa." Di sini, itu adalah "keseharian."
Dan mungkin, justru di sanalah letak kekuatan kita.