Mohon tunggu...
Fauzan Ali Rasyid
Fauzan Ali Rasyid Mohon Tunggu... -

Peneliti, Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transisi Kepemimpinan Nasional

16 Januari 2012   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50 2975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepemimpinan nasional merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam sebuah sistem kenegaraan. Dalam sebuah sistem kenegaraan pasca lahirnya teori pemilahan kekuasaan negara dari montesque cs telah menjadikan kepemimpinan nasional bagian dari pemilahan tersebut. Kepemimpinan nasional dapat dikategorikan pada lembaga eksekutif. Selain Yudikatif dan Legislatif. Akan tetapi perlu dibedakan antara kepemimpinan dan pemimpin. Pemimpin menyangkut personalty akan tetapi kepemimpinan menyangkut sebuah sistem walaupun personal pemimpin dapat mempengaruhi sebuah sistem, akan tetapi sistem yang kuat justru akan mempola pemimpin-pemimpin tersebut.

Lahirnya teori pemilahan kekuasaan tersebut justru dalam rangka mengantisipasi kesewenangan dari seorang pemimpin sehingga seorang pemimpin dapat dikontrol secara konstitusional. Pada masyarakat yang patrimonial mungkin keberadaan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi sebuah sistem karena budaya masyarakatnya lebih kepada budaya patriarchi atau patronase. Begitu pula pada awal sistem demokrasi pernah terjadi kecelakaan sejarah dengan munculnya Hitler di Jerman yang dipilih secara demokratis tetapi melahirkan kepemimpinan fasisme begitu juga di Italia dengan terpilihnya Musolini.

Kecelakaan-kecelakaan sejarah tersebut mungkin disebabkan banyak hal yang antara lain adalah belum optimal dan belum ditemukannya sebuah formula dalam memaksimalkan lembaga-lembaga Negara, di samping banyaknya tekanan–tekanan internasional. Seiring dengan perkembangan sistem politik, optimalisasi akan peran dari lembaga-lembaga negara tersebut semakin gencar dengan munculnya berbagai referensi tentang sistem dan teori politik. Misalnya; Fred Greesntein dan Nelson Polsby (eds), Handbokk of Political Science (1977), Samuel P. Huntington, The Third Wave, Democratization in Late Twentieth Century, (1991), Larry Diamon, Consolidating The Third Wave Democratic (1997), dll. Oleh karena itu kepemimpinan yang sistemik akan melahirkan pemimpin bukan sebaliknya atau secara nilai-nilai pemimpin akan terlahir dari sistem tersebut walaupun secara teknis sistem tersebut akan berubah mengikuti zamannya.

Dinamika Kepemimpinan Indonesia

Proses perjalanan perubahan kepemimpinan nasional di Indonesia senantiasa berangkat dari kondisi konflik politk nasional bukan dari tatanan sistem politik yang tertata secara baik. Mungkin baru pada pemilu 2004 kemunculan kepemimpinan nasional lahir dari sebuah sistem politik yang tersusun walaupun dengan segala ketergesaaannya dan belum diimbangi dengan infrastruktur politik yang matang sehingga tetap berefek pada stagnasi nasional. Konflik politik melahirkan heroisme bagaikan munculnya sang ratu adil bukan kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik terlahir dari sebuah proses politik yang tertata dalam sebuah sistem politik yang ajeg. Sehingga seorang pemimpin yang muncul adalah yang memiliki visi politik bukan kharisma tradisional seperti ratu adil tersebut.

Pada awal kepemimpinan nasional, Soekarno sebagai pemimpin nasional pertama di Indonesia. Ia terlahir bukan dari sebuah sistem politik tetapi ia terlahir dari sebuah konflik politik masa transisi imperialilsme secara internasional sebagai wujud dari kesadaran internasional akan nation state (transisi kepemimpinan nasional jilid pertama). Pada masa itu bermunculan tokoh-tokoh nasional yang visioner seperti Moh. Hatta, Moh. Yamin, Moh. Natsir, Agus Salim, dll. Tokoh-tokoh tersebut termasuk Soekarno hanyut dalam konflik ideologi politik. Mungkin hal tersebut sebagai imbas dari peralihan kondisi politik internasional dari imperialisme wilayah kepada kerjasama ideologis sehingga muncul blok barat dan blok timur, negara-negara komunis, negara Islam, negara-negara sosialis dan negara non-blok. Konflilk ideologi politik tersebut berefek tidak mampu menciptakan sebuah sistem politik nasional yang ajeg. Sistem politik senantiasa berganti-ganti sehingga melahirkan ketidak stabilan politik dan berujung pada suasana tragis yakni G 30 S.

Pasca G 30 S melahirkan transisi kepemimpinan nasional jilid kedua dengan memunculkan Jenderal Soeharto. Ia juga tidak terlahir dari sebuah sistem politik tetapi ia terlahir dari konflik politik. Mungkin juga ia terlahir dari sebuah sistem kemiliteran Indonesia yang dibawa oleh Jenderal Nasution untuk senantiasa ikut serta dalam kancah politik praktis dengan munculnya legitimasi sosial politik ABRI. Peristiwa G 30 S merupakan masa berakhirnya konflik ideologis dan Ia (Soeharto) muncul bagaikan pahlawan (hero). Ia memunculklan ideologi pembangunan dengan pendekatan stabilitas dan kesejahteraan. Dengan pendekatan tersebut pembangunan sistem polttik menjadi terabaikan, partai politik menjadi mandul dan formalistis, partisipasi politik berubah menjadi mobilisasi politik, lembaga-lembaga negara seperti legislatif dan yudikatif berubah menjadi bagian dari sebuah birokrasi eksekuktif dan kebijakan politik sangat tergantung pada seorang Soeharto.

Kondisi negara yang refresif tersebut dan tergantung pada Soeharto berlangsung selama 32 tahun. Hal tersebut menunjukkan Soeharto tidak memiliki visi politik untuk membangun sistem politik yang lebih teratur dan ajeg sehingga sepeninggal dia terjadi kemelelut politik dengan memunculkan transisi kepemimpinan nasional jilid ketiga. Masa Habibie dapat dikatakan sebagai peristiwa konstitusional bukan suksesi kepemimpinan nasional. Awal suksesi kepemimpinan nasional dapat beranjak dari pemilu 1999. Pemilu 1999 dapat dikatakan sebagai pemilu demokratis kedua pasca pemilu 1955. Pada pemilu 1999 bermunculan partai-partai politik sehingga sering disebut masa eporia politik. Kemunculan partai-partai politik yang lahir secara premature tidak melahirkan kematangan akan lahirnya kepemimpinan nasional sehingga dengan mudah terjadi pergantian kepemimpinan nasional dan berefek terjadi instabilitas politik. Bahkan yang muncul banyak berangkat dari tokoh-tokoh masyarakat (ormas) seperti Gus Dur, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuowno X yang terkenal dengan pertemuan Ciganjur bukan dari infrastruktur politik yang seharusnya dapat mempersiapkan pemimpin-peminpin politik. Mungkin hanya Megawati sebagai tokoh partai politik tetapi ia pun muncul popularitasnya secara premature sebagai produk dari refresif negara bukan dari sebuah proses politik yang normal sehingga kemunculannya lebih mengedepankan kharisma tradisionalnya. Ia popular 3 tahun menjelang jatuhnya Soeharto.

Sepuluh tahun pasca jatuhnya rejim Soeharto telah melahirkan 4 presiden RI. Padahal 2 Presiden sebelumnya memimpin 20 dan 32 tahun.  Kondisi ini apakah menunjukkan rapuhnya seorang pemimpin? Atau tidak adanya sistem yang tertata secara baik? Sehingga kesenjangan kepemimpinan begitu jauh. Kondisi politik seperti itu juga seperti di perparah dengan saling menjatuhkannya antara lembaga negara dimana di masa Orde Lama dan Orde Baru sistem politik lebih menunjukkan eksekutif heppy sedangkan memasuki era reformasi berbalik menjadi legislative heppy. Mungkin baru pada pemilu 2004 kondisi agak seimbang walaupun tetap masih terlalu condong pada legislatif happy, akan tetapi ada pembatasan dimana legislatif tidak dapat menjatuhkan eksekutif karena eksekutif memiliki lagitimasi kuat melalui pemilihan langsung.

Babak baru dimulai dari pemilu 2004. Akan tetapi sistem multi partai belum menjadi sebuah solusi untuk terjadinya seleksi kepemimpinan nasional yang mengarah kepada tujuan negara. Partai-partai politik lebih mengedepankan kepentingan keselamatan partainya karena banyaknya ranjau politik yang ditanam partai-partai besar sehingga kebijakan akan out put sebuah sistem politik lebih mengedepankan keselamatan partai-partai yang ada seperti dihapuskannya electoral treesold walaupun diganti dengan Parlementary treesold. Kondisi ini juga senantiasa melahirkan perubahan UU Politik yang terus menerus menjelang pemilu. Perubahan UU Politik sepertinya menjadi sebuah agenda penjegalan partai bukan untuk membentuk sistem politik yang ajed sehingga dapat dievaluasi minimal 2 sampai 3 kali pemilu bukan perpemilu. Atau mungkin juga hal ini menunjukkan terlalu dinamis para politisinya.

Beberapa Catatan Mengapa Demokrasi di Indonesia sulit Berkembang?

Demokrasi tengah menjadi ideologi baru terutama untuk Negara-negara dunia ketiga mulai abad 20 (Huntington, 1995: 34). Walaupun terdapat filosof Yunani yang mengecam demokrasi seperti Aristoteles yang menyatakan bahwa Demokrasi adalah sebuah bentuk kekuasaan yang paling buruk J.H. Rapar, 2001: 53). Tetapi pada dekade ini demokrasi tengah menjadi icon politik. Amerika dijadikan kiblat politik, Inggris dijadikan penggagas pengembangan demokrasi dan Yunani sebagai sumber nilai Demokrasi.

Kesadaran akan berdemokrasi di Indonesia seiring dengan munculnya kesadaran akan nation state. Para founding father merumuskan Negara Indonesia dalam konteks Demokrasi. Akan tetapi selama perjalanan berbangsa dan bernegara perwujudan Demokrasi masih menjadi jargon politik belum menjadi sebuah sistem politik (Afan Gafar, 1990: 113-145).  pendekatan sejarah modern Indonesia, polemik bangsa mulai awal kemerdekaan sampai sekarang antara lain adalah terjadi perebutan kekuasaan beserta sistem yang dibawa oleh para pemburu kekuasaan.  Terdapat tiga kelompok pemburu kekuasaan di Indonesia. Pertama, adalah kaum aristocrat beserta keturunannya (Miriam Bidiardjo, 1991:11-27). Kelompok ini senantiasa mengembangkan kekuasaan berdasarkan budaya kerajaan. Anehnya setiap pemimpin bangsa senantiasa merekayasa untuk mendapatkan legitimasi sebagai bagian dari sebuah kerajaan di Indonesia dengan cera penobatan gelar kehormatan dari kerjaan. Kedua, Kelompok elit baru didikan Belanda beserta keturunannya (Van Niel, 1984 dan Sutherland, 1983). Kelompok ini senantiasa mengembangkan kekuasaan birokrasi semi feodal karena mereka bukan keturunan keraton tetapi bersistemkan feodal yakni harus tunduk patuh dan harus ada upeti serta menutup ruang elit generasi baru untuk muncul kepermukaan. Ketiga, kelompok generasi produk pembangunan. Generasi ini kebanyakan tidak terikat budaya feodal dan tidak terdidik dalam ikatan birokrasi versi Belanda sehingga melahirkan generasi bersistem bebas, generasi ini mulai muncul di era angkatan '66.

Penelitian terkenal Barrington Moore (1969) dapat dijadikan toolanalysis. Ia memusatkan perhatiannya kepada bermacam-macam kelompok strategis: kelas tuan tanah, petani, administrasi pemerintahan dan borjuis perkotaan. Naiknya setiap golongan ke pusat kekuasaan dengan cara bertahap atau pun dengan revolusi, membentuk kerangka munculnya sistem politik yang beraneka ragam dalam dunia modern. Penelitian yang dilakukannya mengenai Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan India, menyebablan ia membedakan dunia modern dalam 3 arus utama: revolusi dari atas, dengan antara kelas terpelajar dan kaya dengan birokrasi, akan menimbulkan fasisme; revolusi borjuis yang dilakukan oleh borjuis perkotaan menimbulkan demokrasi model Barat; dan revolusi petani menimbulkan komunisme.

Pergolakan dan tarik-menarik kelompok-kelompok inilah yang melahirkan polemik kekuasaan Indonesia yang sulit memiliki sistem politik yang utuh dan berwibawa. Penyelesaian polemik hanyalah dengan demokrasi artinya kelompok mana yang lebih banyak mendapat dukungan dalam bernegara. Di sinilah pentingnya demokrasi bagi Negara-negara dunia ketiga (Maswadi Rauf, 2001: 175). Terdapat beberapa faktor yang menjadikan demokrasi di Indonesia sulit untuk berkembang, antara lain:

1.Demokrasi Indonesia senantiasa terlahir dari kondisi bangsa yang kurang kondusif. Hal tersebut dapat dilihat dari semenjak orde lama dengan konsep Demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin muncul dari kondisi bangsa antara lain: pertama, gagalnya konstituante menetapkan konstitusi. Kedua, konflik elit yang berlandaskan konflik ideologis. Ketiga, munculnya gerakan separatisme. Setelah Demokrasi terpimpin lahir konsep demokrasi Pancasila (Orba). Demokrasi Pancasila lahir dari kondisi bangsa antara lain: pertama, tingginya trauma politik multipartai sehingga melahirkan sistem totaliliter. Kedua, Kondisi ekonomi bangsa yang tengah menghadapi inflasi yang cukup tinggi. Ketiga, Lahirnya politik militer yang cukup dominan.

Sebenarnya pada era Orba, bangsa Indonesia mempunyai peluang besar untuk mengembangkan demokrasi yakni ketika sekitar tahun 1987-an dimana posisi bangsa tengah dalam kondisi ekonomi sangat stabil sehingga muncul istilah Indonesia macan asia selain itu dari sumberdaya manusia hamper 90% penduduk telah melek huruf. Akan tetapi pada waktu elit politik tidak melakukan perubahan sistem politik sehingga peluang itu menjadi sirna. Kesadaran akan demokrasi muncul kembali pasca jatuhnya rezim orba. Akan tetapi kesadaran tersebut di tengah bangsa yang kurang normal sehingga Indonesia memasuki kembali era transisi demokrasi sampai sekarang.

2.Masih tingginya peran politik militer dan Imperior Sipil. Peran militer dalam politik di Indonesia cukup kuat karena dulu memilki dasar hukum dwifungsi. Sehingga salahsatu tuntutan reformasi adalah dicabutnya dwifungsi ABRI (Heroul Crouch, 1999: 57-80). Akan tetapi sampai sekarang masih belum tuntas. Hal tersebut dapat disebabkan dua faktor, yakni pertama, Miiter secara institusi masih ingin berpolitik praktis. Kedua, masyarakat sipil menarik-narik militer dalam politik. Secara teoritis bahwa militer dalam konteks demokrasi dijauhkan dalam politik praktis. Militer hanya berperan dalam aspek ketahanan nasional sebagaimana dikemukakan oleh il muwa demokrasi Samuel Hatington.

3.Terjadi Split cultural. Split cultural menerembes menjadi split pemikiran yang berdampak kepada sistem politik campuran. Dapat kita lihat dalam seluruh aspek ketatanegaraan senantiasa menganut sistem campuran. Dalam sistem ketatanegaran mencampurkan antara presidensial dengan parlementer kemudian dalam aspek ekonomi kita menolak sistem free market dan privatisasi pada hal apabila konsisten dengan demokrasi itu adalah salah satu wujud dari demokrasi itu sendiri. Dalam sistem pemilu mencampurkan antara distrik dan proporsonal, dalam sistem perwakilan politik mencampurkan unicameral dengan bicameral dll.

Berlandaskan hal itu, munculah problematika aplikasi demokrasi. Satu sisi pemikiran bahwa demokrasi itu harus relevan dan menjunjung tinggi budaya bangsa sehingga menjadi demokrasi campuran. Sisi lain demokrasi merupakan kebenaran mekanisme dalam berbangsa sehingga ia harus diimpor total dan menghilangkan budaya bangsa.

Dalam konteks Indonesia, Penelitian yang dilakukan Burhan Magenda (1990) menjelaskan secara singkat bagaimana Orde Baru dapat bertahan dengan kuat, ia menilai bahwa di antara kekuatan orde Baru adalah dibangunnya aliansi antara kaum adat  seluruh Indonesia oleh kaum priyayi sehingga kelas aristokrat ini mendominir politik Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun  lokal. Dominasi kaun adat ini, terutama di pedesaan lebih dimungkinkan oleh adanya floating mass yang membuat ikatan patron-klien terutama di pedesaan, tetap bertahan. Dengan adanya floating mass ini maka pola hubungan lama menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan baru yag datang, misalnya di bidang ekonomi dan politik. Namun karena birokrasi lokal tetap di tangan kaum adat, pola patron klien lama akan bertahan untuk jangka waktu yang lama. Penilaian ini sangat berbeda dengan para peneliti Indonesia lainnya yang melihat bahwa kekuatan Orde Baru terletak pada TNI saja. Burhan Magenda membuka cakrawala baru dengan meluncurkan peran dari para kelas aristokrat dalam percaturan politik Indonesia.

Kegagalan Partai Politik dalam Rekruitmen Politik

Partai Politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan memlalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang telah tersusun dalam partai. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah.

Keberadaan partai politik di tengah masyarakat akan mendapat dukungan apabila partai politik tersebut menjalankan fungsi-fungsi partai politik. Partai politik memiliki fungsi dalam sistem politik antara lain: 1) sosialisasi politik, 2) Rekruitmen politik, 3) Partisipasi politik, 4) Pemadu kepentingan, 5) Komunikasi politik, 6) Pengendalian konflik, dan 7) Kontrol politik.  Fungsi-fungsi partai politik tersebut sering tidak diindahkan oleh partai politik sehingga citra partai politik ditengah masyarakat menjadi hanya sekedar alat bagi orang-orang yang haus akan kekuasaan. Walaupun itu tidak salah tetapi hendaknya partai politik dapat membangun kedewasan politik rakyat sehingga arah dan kebijakan politik dapat dipahami rakyat. Cukup disayangkan ketika hasil beberapa survey menunjukkan rendahnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik seperti survey yang dilakukan LSI, Kompas, Media Indonesia dll.

Faktor yang cukup signifikan untuk meningkatkan kepercayaan pada partai politik adalah rekruitmen politik. Rekruitmen dianggap penting karena partai politik adalah infrastruktur politik yang memproduk elit-elit politik. Partai politik dapat dikatakan sebagai institusi yang secara  formal melakukan proses sosial politik lahirnya elit politik. Emile Durkheim (dalam Anthony Giddens, 1986: 118-145) menjelaskan bahwa sebab-sebab suatu gejala sosial yang dapat menjadi proses lahirnya sebuah elit atau pemimpin terdiri atas 2 macam: (1) sebab-sebab ateseden, dalam hal ini elit harus dipelajari sebagai perluasan dari kasta penguasa, aristokrasi, dan kelas-kelas penguasa yang menurut sejarah mandahului mereka, (2) sebab yang mengiringinya kekuatan-kekuatan yang terus beroperasi dan mejalankan pengaruhnya. Dalam hal ini, elit harus dipelajari dalam hubungan dengan kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong perkembangan sosial. Indikator kedua dari durkheim tersebut menunjukkan pentingnya penguatan rekrutiemen politik oleh partai politik.

Dalam melakukan rekruitmen politik, partai politik juga perlu dilakukan secara elegan dan transfaran. Sebab di samping perkembangan politik yang semakin maju juga kekuatan-kekuatan politik masyarakat telah berkembang pesat sehingga  partai politik dapat menampung seluruh elemen kekuatan-kekuatan strategis dimasyarakat. Suzanne Keller (1995: 87) yang menjelaskan bahwa golongan elite berkembang disebabkan oleh empat proses sosial yang utama: (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan; (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi; dan (4) perkembangan keragaman moral. Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite pun menjadi semakin banyak, semakin beraneka ragam dan lebih bersifat otonom.

Teori Keller di atas menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat telah menyebar sedemikian rupa sehingga menuntut elit partai untuk membuka sistem kepartai secara terbuka sehingga elit-elit tersebut dapat berkiprah optimal dalam politik melalui partai politik. Tidak bisa lagi membentuk partai secara tertutup secara ideologis atau lapisan masyarakat seperti yang terjadi di era sebelumnya sehingga muncul istilah politik aliran. Pada masa Orde Lama, PNI sebagai partai priyayi, Masyumi sebagai partai santri dan PKI sebagai partai wong cilik. Begitu juga pada masa orba, Golkar sebagai partai priyayi, PPP sebagai partai santri dan PDI sebagai partai wong cilik.

Di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia, di mana tradisi kepartaian belum berjalan kuat, rekrutmen politik seringkali terjadi hanya dalam satu atau beberapa kelompok tertentu dan biasanya berlangsung dengan pola-pola patronase. Pola ini merupakan bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit yang merasuki banyak bidang kehidupan masyarakat. Namun dianggap sebagai pola yang paling mapan tetapi dapat melahirkan perekrutan politik yang tidak cocok baik secara politik maupun diukur dari kemampuannya.

Dengan pola seperti inilah perkembangan partai-partai politik di Indonesia menjadi kurang berkembang dan tidak dapat menjadi pemadu berbagai kepentingan politik. Padahal perkembangan politik di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat  sejak jatuhnya rejim Orde Baru. Perubahan-perubahan politik belum diiringi dan disertai dengan perubahan kultur politik dalam partai politik sehingga hal itu membawa tersendatnya perubahan perilaku politik dan etika politik bangsa.

Pada Pemilu 2009 merupakan pemilu dengan sistem proporsonal terbuka dan berimbang. (UU NO.10 Tahun 2008). Dengan sistem pemilu seperti itu, Partai Politik yang memiliki peluang besar untuk tetap eksis adalah yang memiliki dua (2) sumber kekuatan politik. Pertama adalah kebesaran partai itu sendiri dan kedua, memiliki tokoh-tokoh populis. Apalagi dengan ada ketentuan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% secara nasional, dimana apabila salah satu partai politik tidak mencapai jumlah ambang batas maka perolehan suaranya tidak dihitung menjadi perolehan kursi. Yang dihitung perolehan suara menjadi kursi legislatif adalah partai yang memperoleh jumlah suara minimal diambang batas.

Secara teoritik dapat diukur partai-partai yang memiliki Kebesaran Partai politik antara lain adalah pertama, partai politik yang berkoalisi atau berbasis dengan kekuatan-kekuatan strategis seperti ormas, aristocrat local, birokrasi dan kelompok-kelompok bisnis. Partai politik yang memiliki sumber daya tersebut antara lain Golkal, PPP, PDIP, PKS, Demokrat, PAN, PKB. Kedua, partai yang akan eksis itu adalah partai yang memiliki tokoh-tokoh populis. Tokoh-tokoh populis tersebut bisa berangkat dari intelektual, agamawan, militer, penguasa, dan seniman (artis). Sumber-sumber populis tersebt juga hampir dimiliki oleh partai-partai yang disebutkan di atas. Oleh karena itu sebenarnya Undang-Undang Partai Politik No 2 tahun 2008 atau UU Pemilu  NO. 10 tahun 2008 memberikan peluang besar mendirikan partai politik tetapi mempersempit  untuk mendapatkan kursi dan kepercayaan rakyat kecuali bagi partai memiliki sumber-sumber kekuatan politik di atas.

Kepemimpinan Kaum Muda dan Peluang SBY pada Pemilu tahun 2009

Pada akhir tahun 2007-an muncul opini pemimpin bangsa dari kaum muda. Opini tersebut lahir mungkin sebagai antitesa dari realitas politik di era reformasi yang antara lain: pertama, di era reformasi terjadi perubahan sistem politik tetapi tidak melahirkan perubahan aktor, sehinga reformasi dianggap sebagai perubahan kulit saja. Kedua, munculnya elit-elit poitik yang senantiasa terkait dengan kasus-kasus hukum di masa lalu, sehingga melahirkan sulitnya supremasi hukum dan hukum masih tetap menjadi pelindung sebagian elit. Ketiga, Masyarakat merasa jemu dengan kepemimpinan bangsa yang lamban dalam menangani krisis. Keempat, adanya kesulitan anak muda untuk muncul menjadi aktor politik baru karena dihambat oleh aktor lama yang masih ingin tetap bercokol sebagai pelaku politik. Dengan opini tersebut dapat menjadi presur politik untuk mempercepat kemunculannya.

Antitesa tersebut cukup beralasan karena Pertama, dilihat dari sejarah kepemimpinan nasional yang mampu melakukan perubahan yang signifikan senantiasa dipelopori dari pemimpin yang dalam kategori muda seperti Soekarno diusia 43 tahun menjadi Presiden dan ia mampu melakukan perubahan begitu pula Soeharto diusia 47 tahun menjadi Presiden dan ia pun mampu melakukan perubahan yang signifikan. Akan tetapi berbeda kepemimpinan pada masa reformasi yang rata-rata dipimpin oleh Presiden yang berusia di atas 55 tahun melahirkan kepemimpinan yang rapuh sehingga mudah berganti-ganti kepemimpin yang melahirkan instabilitas politik dan ekonomi.

Begitu pula pemimpimpin dengan pemimpim-pemimpin negara lain yang dipimpin dari kaum muda senantiasa melakukan perubahan signifikan seperti Ahmaddinejad Presiden Iran yang terpilih pada usia sekitar 51 tahunan, lee kuanyu yang terpilih pada usia 48 tahun, Aroyo Filifina diusia 51-an, Tony Blair Inggris diusia 48 tahunan dan  Bil Cilnton pada usia 50-an dan terakhir adalah Barac Husein Obama.

Kedua, kaum muda merupakan pemilih mayoritas sehingga opini tersebut bagian dari menarik simpatik kaum muda untuk mendorong anak muda tampil menjadi elit baru.Sehingga moto partai senantiasa dikemukakan partainya adalah partai anak muda Ketiga, terbuka ruang bagi anak muda untuk tampil menjadi elit baru walaupun masih sedikit seperti di Partai Demokrat ada Anas Urbaningrum, di PDIP ada Budiman Sujatmiko, di Golkar ada Priyo Budisantoso, di PKB ada Muhaimin Iskandar, PKS ada Rama Pratama dll. Keempat, adanya gereget mencari pemimpin yang dapat mempercepat penyelesaian krisis. Indonesia kalah dari Thailand yang dapat menyelesaikan krisis dalam waktu relatif singkat sekitar 2-3 tahun sedangkan Indonesia sudah 10 tahun reformasi belum juga ada tanda-tanda untuk bangkit dari krisis.

Kelima, dengan kaum muda menjadi pemimpin bangsa akan terhindar dari kasus-kasus masa lalu  sehingga supremasi hukum akan mudah dilaksanakan dan elit muda akan terkonsentrasi untuk melakukan perubahan. Berbeda dengan kaum tua yang senantiasa terkait dengan kasus masa lalu sehingga ia sibuk untuk menyelamatkan diri dan fokus perubahan menjadi terabaikan.

Akan tetapi kepemimpinan kaum muda belum menjadi daya tarik bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pilkada-pilkada, kaum tua masih mendominasi perpolitikan lokal walaupun sudah banyak Gubernur dan Bupati dari kaum tua yang terkena kasus. Bahkan yang unik justru kaum tua yang sudah tidak laku lagi di perpolitikan nasional dia balik ke daerah untuk menjadi pemimpin poliitk lokal dan difasilitasi oleh Partai politik seperti Abdul Gapur, Sarwono, Agum Gumelar dll.

Sebenarnya dalam rangka mempercepat sirkulasi kepemimpinan nasional akan sangat tergantung kepada sistem kaderisasi dalam partai politik terutama partai-partai besar. Apabila partai politik membuka ruang yang lebar bagi anak muda  untuk tampil menjadi elit maka trend kepemimpinan anak muda akan dengan cepat terwujud. Hal ini dapat terlihat seperti Soekarno dan Soeharto menjadi tampuk pimpinan bangsa karena partai membuka diri untuk mendorong mereka menjadi elit bangsa. Walaupun pada zamannya banyak juga kaum tua menjadi aktor politik.

Selain itu juga kaum muda menunjukkan juga kualitas dirinya. Mungkin saja masyarakat merasa ragu dan khawatir kaum muda memimpin bangsa karena belum memiliki pengalaman politik yang panjang. Hal ini sebagai bagian dari sistem yang dibangun Orde Baru yang kurang memberikan ruang bagi anak muda tampil untuk memimpin bangsa sehingga pasca jatuhnya Orba mulai bermunculan anak muda tampil dengan segenap idealismenya akan tetapi hal itu masih terhambat juga karena partai-partai besar icon politiknya masih didominasi kaum tua. Sehingga wajar apabila kaum muda masih diragukan. Hal tersebut  dapat dilihat dari proses pilkada.

Kepemimpinan kaum muda juga akan lebih cepat terwujud apabila ada keberpihakan dari kaum intelektual dan media massa. Kaum intelektual melakukan legitimasi ilmiah akan pentingnya kepemimpinan kaum muda. Sedangkan media masssa mempublikasikan akan kemampuan intelektual dan kearifan politik kaum muda melihat relaitas politik bangsa dan pandangan bangsa ke depan.

Untuk pemilu 2009, icon politik akan tetap didominasi kaum tua karena partai-partai besar masih mencalonkan kaum tua seperti PDIP masih mencalonkan Megawati, Golkar tergantung JK begitu pula partai-partai baru masih menganggkat Wiranto, Sutiyoso, dll.. Apabila pigur-pigur tersebut masih dipertahankan maka peluang SBY akan semakin besar untuk memenangkan pilpres. Karena berdasarkan lembaga-lembaga Survei SBY masih di atas mereka reputasinya walaupun terjadi penurunan reputasi SBY. Akan tetapi kalau ada kaum muda pun yang ditonjolkan belum tentu juga mampu menandingi reputasi mereka karena ruang dan waktu belum berpihak kepada kaum muda secara luas untuk menunjukkan sebagai calon alternatif dan solutif.

Pemilu langsung akan sangat memberikan peluang terhadap kandidat yang memiliki popularitas. Populerly election akan melahirkan ‘personalized politics’ sedangkan partai politik sebagai politicle mesine hanya menjadi pelengkap persyaratan presiden belum menjadi penentu kemenangan. Hal itu terbukti pada pemilu 2004, Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif tidak mampu memenangkan pilpres.

Tulisan Lama tahun 2008 ini dimuat di Jurnal Arena

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun