Mohon tunggu...
Fatna Arida Widiyaningsih
Fatna Arida Widiyaningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, program studi PGMI dengan nomor induk mahasiswa 22104080083

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pepatah "Banyak Anak Banyak Rezeki": Masih Relefan atau Sudah Bergeser?

3 Mei 2025   19:54 Diperbarui: 3 Mei 2025   19:54 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Senam Pagi (Sumber:Galeri Fatna))

Pepatah lama yang berbunyi "banyak anak banyak rezeki" telah lama menjadi bagian dari nilai-nilai tradisional masyarakat Indonesia. Ungkapan ini mencerminkan keyakinan bahwa setiap anak yang lahir akan membawa berkah dan rezeki tersendiri bagi keluarga. Namun, di era modern saat ini, pandangan masyarakat terhadap konsep tersebut tampaknya mengalami pergeseran.

Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Rini Hartanto, pepatah tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks zaman. "Dulu, terutama pada era agraris dan awal industrialisasi, banyak anak justru dianggap sebagai aset. Mereka membantu pekerjaan orang tua, baik di ladang, usaha kecil, maupun rumah tangga," ujarnya. Di masa itu, keterbatasan akses pendidikan dan tingginya angka kematian anak juga membuat keluarga merasa perlu memiliki banyak keturunan.

Namun kini, dengan meningkatnya biaya hidup, pendidikan, dan kebutuhan kesehatan, masyarakat mulai mempertimbangkan secara matang jumlah anak yang akan dimiliki. "Zaman sekarang, rezeki tidak semata-mata dilihat dari jumlah anak, tetapi dari kualitas hidup yang bisa diberikan kepada mereka," tambah Dr. Rini.

Generasi milenial dan Gen Z yang kini mulai membangun keluarga umumnya lebih memilih memiliki sedikit anak, namun memastikan mereka mendapatkan pendidikan dan perhatian yang cukup. Survei nasional BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa mayoritas pasangan muda Indonesia menginginkan maksimal dua anak, dengan alasan keseimbangan antara tanggung jawab orang tua, karier, dan kondisi finansial.

Meski begitu, pandangan tradisional belum sepenuhnya hilang. Di beberapa wilayah pedesaan dan komunitas tertentu, kepercayaan bahwa anak adalah pembawa rezeki masih cukup kuat. "Kami percaya bahwa Tuhan sudah mengatur rezeki tiap anak. Jadi tidak perlu takut punya banyak anak," ujar Pak Wardi (58), seorang warga dari Kabupaten Banyumas.

Pemerintah sendiri melalui program Keluarga Berencana (KB) terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perencanaan keluarga. Bukan untuk menentang nilai tradisional, namun untuk memastikan kualitas hidup yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Dengan demikian, pepatah "banyak anak banyak rezeki" tidak sepenuhnya ditinggalkan, tetapi mengalami pergeseran makna seiring perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Rezeki kini dipahami lebih luas, bukan hanya dari segi jumlah, tetapi dari kualitas kehidupan yang dijalani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun