Pengaruh menonton video porno terhadap kesehatan anak sekolah
Masa remaja merupakan tahapan yang harus dijalani oleh setiap orang secara individu. Antara usia 12 dan 22 tahun, masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dimana terjadi proses pematangan fisik dan mental.
Remaja mengalami perubahan emosional, kognitif, dan psikologis saat mereka tumbuh dewasa. Salah satu perubahan tersebut adalah tingginya motivasi dan rasa ingin tahu tentang pengalaman mereka, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan seksualitas. Banyak remaja yang menikmati dan menjadi kecanduan konten seksual eksplisit, seperti pornografi, karena mudah diakses berkat teknologi modern. "Gaya hidup" dan kurangnya pengawasan, kurangnya komunikasi, tuntutan yang berlebihan, kekerasan terhadap anak, pengabaian terhadap potensi anak, serta diskriminasi dari orang tua dan lingkungan dapat menyebabkan remaja terpapar pornografi. Paparan pornografi anak-anak mayoritas melalui internet.
Menurut survei Kemenkes tahun 2017, 94% siswa pernah mengakses konten pornografi melalui komik, 43% melalui internet, 57% melalui game, 4% melalui film/TV, 17% melalui media sosial, 34% melalui majalah, 26 % melalui buku, dan 4% melalui sumber lain.
Sebuah sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, suara, animasi, kartun, percakapan, isyarat, atau bentuk pesan lainnya yang disampaikan melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukan publik yang mengandung kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesopanan dianggap sebagai pornografi. UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi). Kecanduan pornografi merupakan masalah serius di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa hal itu dapat menyebabkan kecanduan. Skinner, 2005 membagi tingkat kecanduan pornografi ke dalam kategori berikut:
1. Tingkat 1: pornografi hanya dilihat sekali atau dua kali dalam setahun, jadi paparannya sangat rendah 2. Tingkat 2: beberapa kali per tahun, tetapi tidak lebih dari enam kali, dengan fantasi yang sangat sedikit 3. Tingkat 3: mulai menunjukkan tanda-tanda kecanduan sebulan sekali dan berusaha membatasi penggunaannya Tingkat 4: memengaruhi fokus tugas sehari-hari, beberapa kali per bulan 5. Tingkat 5: Setiap minggu, saya berusaha keras untuk berhenti, tetapi saya mulai mengalami gejala penarikan 6 Level 6: Setiap hari, pornografi menimbulkan berbagai masalah dalam hidup. Level 7: saat tidak menonton pornografi, perasaan tidak berdaya dan putus asa, serta akibat negatif Orang tua harus mengetahui ciri-ciri anak atau remaja yang kecanduan pornografi:
Ketika seseorang mengajaknya berbicara, dia sering terlihat gugup dan menghindari kontak mata.
Enggan melepaskan perangkat (gadget), jika ditegur dan dibatasi penggunaannya akan marah Senang menyendiri terutama di kamarnya, menutup diri Lupa kebiasaan baik Malas, enggan belajar dan bergaul, sulit berkonsentrasi Enggan melepaskan gawai (gadget), jika ditegur dan dibatasi penggunaannya akan berang
Kecanduan pornografi juga menyebabkan kerusakan otak yang parah, seperti halnya kecanduan narkoba. Otak orang dewasa dan anak-anak dirugikan oleh pornografi. Kerusakan otak sama dengan kerusakan otak akibat kecelakaan mobil berkecepatan tinggi. Pre Frontal Cortex (PFC) adalah bagian otak yang diserang oleh pornografi. Ini merupakan salah satu bagian otak yang sangat penting bagi manusia karena hanya dimiliki oleh manusia, sehingga manusia memiliki etika dibandingkan hewan. Bagian dari pikiran ini memiliki kemampuan untuk mengarahkan perasaan, memusatkan perhatian, memahami dan mengenali baik dan buruk, menahan diri, menalar dengan tegas, berpikir dan membuat pengaturan untuk masa depan, membentuk karakter, dan bertindak secara sosial.
Manusia memiliki sistem limbik yang juga mengeluarkan hormon dopamin untuk menenangkan otak, namun dopamin juga dapat memberikan perasaan senang, bahagia, dan kecanduan. Inilah mengapa menonton pornografi awalnya membuat orang merasa jijik. PFC terendam dalam dopamin dan menjadi tidak aktif saat dopamin mengalir ke arahnya. Rasa ingin tahu seseorang akan meningkat dan ia akan semakin kecanduan menonton pornografi jika kadar dopaminnya meningkat. Namun, untuk memuaskan kesenangan dan kepuasannya, seseorang akan menonton lebih vulgar dan porno untuk menghasilkan lebih banyak dopamin. PFC akan menyusut dan menjadi tidak aktif dari waktu ke waktu akibat fungsi bagian otak ini menjadi kurang aktif karena terus menerus dibanjiri dopamin.
Kecanduan pornografi memiliki dampak negatif yang serius bagi pecandu dan orang-orang di sekitarnya, antara lain sebagai berikut:
Mengubah keyakinan dan sikap tentang seksualitas, seperti anggapan bahwa perempuan dan anak hanyalah objek seks. Meningkatkan eksplorasi seksual remaja sehingga seks bebas dan seks berisiko dapat terjadi. Mudah berbohong. Harga diri rendah dan konsep diri. Depresi dan kecemasan. Gangguan pendidikan. Penyimpangan seksual. Tentu saja hal ini merusak norma sosial dan merusak kehidupan keluarga dan masyarakat.
Tidak terlihat oleh mata dan mengganggu telinga, pornografi adalah kecanduan baru yang, seperti kecanduan narkoba, merusak otak secara permanen. Oleh karena itu, agar anak, remaja, dan dewasa muda terhindar dari bahaya pornografi, diperlukan pembinaan dan pengawasan dari semua lapisan masyarakat, khususnya melalui peran aktif orang tua dengan cara:
Jika anak ketahuan mengakses situs pornografi, orang tua harus mengajak berdialog dan menjelaskan dampak pornografi. Memberikan pemahaman kepada anak tentang internet yang sehat dan aman Menempatkan komputer di ruang keluarga Menginstal aplikasi keamanan di perangkat Memberikan pendidikan seks sesuai perkembangan usia Jika remaja sudah kecanduan pornografi, kerusakan otak yang ditimbulkan dapat dipulihkan melalui berbagai terapi, sedangkan adiksi yang terjadi dapat dihentikan dengan pendampingan dari orang tua dan keluarga dan bila perlu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI