Mohon tunggu...
fatmasari titien
fatmasari titien Mohon Tunggu... Penulis - abadikan jejak kebaikan, jadikan hidup penuh manfaat

ibu profesional, pembelajar dan pegiat sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Madrasah Sepanyang Hayat

24 November 2020   16:21 Diperbarui: 24 November 2020   16:28 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak hanya mengajar, di luar jam mengajar Ibu juga berjualan pecel dan gorengan di depan rumah. Beliau juga tak sungkan dipekerjakan untuk  merawat orang sakit pada waktu-waktu tertentu.  Berkat Ibu pula, semua putrinya selesai kuliah dan bekerja sesuai bidangnya. Maa syaa Allah, perjuangan Ibu sungguh takkan terlupakan.

Ibu baru mempelajari islam dengan benar di usia 10 tahun pernikahan. Beliau tidak segan belajar mengeja huruf alif ba' tsa' bersamaku. Demikian juga dalam memperbaiki bacaan sholatnya. Beliau juga aktif mengikuti kegiatan pengajian dan kegiatan sosial yang lain. Meski Ayah seorang yang keras dan kaku, beliau mengijinkan Ibu untuk belajar agama lebih dalam.

Ibu adalah orang paling sabar yang pernah kukenal. Bahkan meski ada orang yang tak dikenalnya tiba-tiba mencacinya di pasar, beliau tetap diam dan tidak membalas cacian itu. Hingga di kemudian hari, orang yang mencacinya datang ke rumah dan meminta maaf karena telah salah menuduh orang. Ibu pun memaafkannya dan malah menjalin hubungan baik dengannya sampai kini. 

Ibu juga memaafkan dan tetap menjalin kekerabatan dengan nenek dan adik-adiknya meski mereka tidak merestui pernikahan Ibu dengan Ayah. Berkali-kali mereka meminta Ibu untuk berpisah dengan Ayah dan menikah dengan pilihan nenek yang seagama. Meski tidak suka dengan permintaan nenek, Ibu tetap bersabar dan berbuat baik pada mereka. Di kemudian hari, nenek akhirmya merestui Ibu dan Ayah.

Ibu memang bukan perempuan yang sempurna. Terkadang kami mengajukan protes ketika merasa waktunya habis untuk menambah penghasilan. Terkadang kami juga merajuk ketika beliau terlambat mengambil rapot karena urusan tertentu. Namun, beliau selalu memaafkan kami. 

Dari Ibu, kami belajar filosofi air. Seperti yang kita lihat, air itu akan terus mengalir ke bawah sesuai hukum alamnya. Ketemu rintangan dia berbelok, ketemu celah sempit dia menyelip, ketemu batu besar dia menyibak, ketemu tanggul dia mengumpulkan diri, membesar lalu meninggi dan menumpahkan diri melewati bendungan untuk terus mengalir lagi hingga kembali ke samudra luas. Begitulah seharusnya kita. Tak boleh
lekas menyerah. 

Hidup ini ujian dan bila Allah memberikan ujian, semua pasti disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan kita. Bila tidak menyerah, pasti kita
dapat melewatinya.

Coba lihatlah air sungai dan selokan. Dalam perjalanannya, terkadang ikut pula terbawa kotoran berbagai macam, terkadang mengotori lahirnya yang tak lagi terlihat bening, tapi keruh, menghijau, kecoklatan atau bahkan menghitam. Sungguh tak elok dilihat dan dinikmati. Namun dia akan terus berjuang, walau terkadang panas mentari menghabiskan raganya hingga tak bersisa, atau tertatih- tatih hingga percikannya sampai ke muara, membersihkan segala daki dan kembali suci lagi mensucikan dalam samudra luas. 

Begitupun kita, manusia selalu diikuti salah dan khilaf, terkadang juga lalai. Kesemua itu adalah kotoran jiwa yang harus dibersihkan. Dengan jiwa yang bersih, kita bisa melihat petunjuk Allah. Kita mudah menerima nasehat, untuk kemudian dapat memperbaiki diri.

Air terkadang terlihat seperti diam, tenang dan seolah tak melakukan apa-apa, sejatinya dalam tenang dan diamnya, dia terus berjuang habis-habisan agar bisa terus mengalir menuju muaranya. Begitu pula yang seharusnya kita upayakan. Jangan mudah protes, jangan mudah mengeluh. Muhasabah dirilah, barangkali ada banyak salah dan khilaf yang sudah kita lakukan. Dan Allah memberikan ujian sebagai peringatan. Agar kita kembali memperbaiki diri. Sejatinya apa yang dilakukan setiap orang, akan kembali kepada dirinya sendiri. Karenanya lakukanlah kebaikan. Dan ikutilah keburukan yang  terlanjur dilakukan dengan kebaikan. Maka semua itu akan menyelamatkanmu.

Dari Ibu, kami belajar merendah dan bertahan, serta memaafkan. Seperti sifat air yang mendinginkan dan menyejukkan, maka jadilah pemaaf dan jangan gengsi untuk meminta maaf. Maaf itu melanggengkan kasih sayang dan persaudaraan. Tidak ada yang dirugikan dan direndahkan bila manusia mau saling memberi maaf. Air juga alat bersuci dan membersihkan segala sesuatu. Demikian juga maaf, membersihkan hati  dari buruk sangka, dengki, hasad dan amarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun