Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Kita Sudah Dewasa?

26 Januari 2021   13:39 Diperbarui: 26 Januari 2021   13:41 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak kejadian itu, ibu tidak pernah membahas masalah Paiko yang masih remaja, malah sebaliknya, ia selalu mengelus rambutnya di pagi hari sambil mengatakan, "Wah anakku ternyata sudah dewasa". 

Namun yang Paijo lihat janggal adalah, sejak itu adikku tidak pernah meminjam PS dari kamarnya ataupun diam-diam mencurinya, dia tidak pernah mengajak kakaknya tanding di turnamen mobile legend lagi.

Hingga suatu hari Paijo mendapati adiknya di pojok gerbang sekolah. Hari masih pagi, ia berjongkok dan membuka dasi biru putihnya paksa dan melemparnya kasar di selokan. Paijo sedikit terkejut. Saat berbalik, Paiko menutupi mata sembabnya dengan lengan. Ternyata ia... tengah menahan menangis.

Sejak kejadian itu juga, Ibu dan ayah selalu memanjakan Paiko dengan mengatakan hal yang sama tiap pagi. "Anakku ternyata sudah dewasa," sambil tertawa lebar. Dan Paiko hanya tersenyum kaku dengan tatapan yang mudah dibaca oleh orang lain, setidanya oleh kakaknya, Paijo.

Ada orang-orang yang mengira kita dewasa. Ada orang-orang yang dengan sebal mengatakan kita masih anak-anak. Ada tuntutan orang-orang disekitar kita bahwa kita harus melakukan sesuatu yang disebut dewasa.

Pertanyaan disini bukan "Sebanyak apa aku bisa melakukan hal yang dianggap dewasa?" tapi "Sebanyak apa aku memenuhi keinginan orang lain agar mereka mengaggapku dewasa?"

Paiko, menurut usia biologis ia disebut remaja, dan di rumah ia diperlakukan lebih baik dari Paijo yang notabenenya kakaknya yang lebih tua. Mengapa ini terjadi? Tidak lain adalah ia yang terlanjur mendapat sikap yang demikian. Awalnya nyaman, senang, namun lelah dengan sebutan "dewasa".

Lalu mulai berpikir "Ibu dan ayah lebih suka aku yang dewasa. Kupikir menahan kesenanganku sedikit lebih lama, lebih baik."
Hingga pernyataan tersebut berubah menjadi pertanyaan serius "Kenapa cuma aku yang harus pura-pura dewasa di sini?"

Lagi-lagi stereotip dimana tempat kita tinggal lah yang memang, memang pada akhirnya mendewasakan kita, dengan tanda kutip berbeda tiap lingkungan. 

Definisi dewasa sendiri berbeda, tergantung bagaimana lingkungan membesarkan kita, tergantung bagaimana orang-orang menyadari keberadaan kita, tergantung bagaimana kita memfilter pikiran kita dan opini orang-orang disekitar kita.

Stop dulu! Saya gak menyalakan orang tua, ataupun keluarga. Cerita diatas hanyalah contoh bagaimana seorang remaja disetel menjadi dewasa secara perlahan, sangat pelan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun