1. Kurangnya Literasi Emosional
Orang pintar mungkin memiliki IQ tinggi, tetapi tanpa kecerdasan emosional (EQ), mereka lebih mudah terbawa emosi, marah, atau tersinggung ketika dihadapkan pada isu yang menyentuh identitas pribadi atau kelompok.
2. Efek Echo Chamber Media Sosial
Media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana orang hanya terpapar informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Orang pintar sekalipun bisa kehilangan objektivitas karena terlalu sering mendapat asupan informasi yang seragam dan memicu emosi.
3. Kesenjangan antara Logika dan Kearifan
Pintar tidak otomatis berarti bijaksana. Orang yang pintar sering merasa yakin dengan analisisnya, tetapi jika tidak dibarengi dengan kerendahan hati dan kearifan, mereka mudah merasa paling benar sehingga gampang terpancing oleh isu yang provokatif.
4. Manipulasi Isu Identitas
Di Indonesia, isu-isu yang berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sangat sensitif. Bahkan orang pintar bisa kehilangan daya kritisnya ketika menyangkut identitas yang mereka anggap sebagai harga diri.
Kesimpulan
Menjadi pintar tidak sama dengan menjadi cerdas. Orang pintar tahu banyak hal, tetapi orang cerdas tahu bagaimana menyikapi banyak hal dengan tenang dan bijak. Fenomena banyaknya orang pintar yang mudah terprovokasi menunjukkan bahwa kepintaran intelektual saja tidak cukup. Yang lebih dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman adalah kecerdasan emosional, kebijaksanaan, dan kemampuan berpikir kritis yang sehat.
Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa lebih mawas diri: jangan hanya mengejar kepintaran, tetapi juga melatih kecerdasan agar tidak mudah terseret arus provokasi.