Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhuri
Muhammad Fatkhuri Mohon Tunggu... -

follow me at twiter, @fatur_fatkhuri

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Korupsi Kepala Daerah: Sebuah Ironi Demokrasi

11 April 2011   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:55 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi korupsi. Kata itulah barangkali yang bisa mewakili kekesalan publik atas ulah sebagian petinggi negeri yang tidak bosan-bosannya melakukan tindakan korupsi. Entah sampai kapan episode korupsi akan berakhir, publik pun belum bisa memastikannya. Sebab korupsi masih menjadi penyakit yang sampai hari ini masih terasa sulit untuk mengobatinya. Para pelaku korupsi pun seakan tak pernah merasa jera, padahal sudah banyak sebagian di antara mereka yang masuk ke jeruji penjara. Kasus Bank Century, Traveler Check dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia, kasus mafia pajak untuk menyebut beberapa kasus adalah contoh kecil dari pernak-pernik fenomena korupsi yang terjadi selama ini.

Realitas tersebut memberikan sinyal bahwa reformasi semakin tidak mempunyai arah yang jelas, apalagi berpihak kepada mereka yang terpinggirkan/termarginalkan (rakyat). Reformasi yang diharapkan banyak pihak bisa membawa angin perubahan pada semua lini kehidupan tengah dibajak oleh sebagian elit-elit politik demi kepentingan pribadi. Lebih tepatnya, reformasi telah dinodai dengan merajalelanya tindakan koruptif oleh sebagian pejabat kita. Alhasil, korupsi semakin menggurita bak penyakit akut yang tidak ada penawarnya, meskipun tidak bisa dipungkiri, segala cara sesungguhnya telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberangusnya. Namun demikian, segala jurus jitu juga dipakai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan pribadi dan kroni-kroninya. Pada titik inilah reformasi menyisakan berbagai macam permasalahan besar yang membutuhkan perhatian ekstra dari seluruh warga bangsa.

Maraknya korupsi kepala daerah

Masalah korupsi semakin menggila ketika perilaku korup tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah pusat, melainkan semakin liar merayap ke jantung pemerintahan daerah. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan informasi yang dihimpun dari banyak sumber mengatakan bahwa saat ini ada sekitar 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, di mana 17 orang di antaranya adalah gubernur. Di beberapa daerah, grafik korupsi juga meningkat drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Contoh, laporan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KP2KKN) provinsi Jateng menyatakan bahwa selama tahun 2010, di Jateng terdapat 174 kasus korupsi. Angka ini naik drastis dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mencapai 39 kasus, dan pada tahun 2008 hanya 29 kasus.

Kenyataan ini menguatkan sebuah kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan desentralisasi yang muaranya adalah menciptakan pemerintahan berkualitas (good-governance) di mana salah satunya ditandai dengan penciptaan pemerintahan yang bersih dari aroma Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin jauh panggang dari api. Sebaliknya, pelaksanaan desentralisasi yang mewujud melalui otonomi daerah justru memberi ruang yang cukup menganga terhadap praktek korupsi. Pertanyaannya kemudian, kenapa korupsi begitu marak dilakukan oleh sebagian oknum pejabat daerah (kepala daerah)? Langkah-langkah apa yang bisa ditempuh guna mencegah maraknya korupsi yang dilaksanakan oleh kepala daerah?

Ada sejumlah alasan mengapa korupsi begitu marak dilakukan terutama oleh para pejabat daerah.

Pertama, merajalelanya praktik korupsi di daerah karena tingginya ongkos politik yang harus ditanggung oleh para kandidat yang maju dalam pemilukada. Alhasil, kondisi ini rentan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang ketika salah satu di antara mereka menang atau pada akhirnya menjadi kepala daerah. Di sini kepala daerah terpilih mencari-cari cara bagaimana untuk mengembalikan modal melalui APBD.

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam pernah mengatakan,bahwa biaya yang dibutuhkan oleh seroang kandidat calon bupati minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. Sementara pengeluaran ini tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima.

Di sisi lain, penyelewengan dilakukan berkaitan dengan kepentingan incumbent untuk maju dalam pemilukada berikutnya. Penyalahgunaan wewenang dalam konteks ini adalah seperti penggunaan APBD untuk kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari program yang sebenarnya harus dijalankan. Contoh, banyak dijumpai bahwa para pejabat petahana (incumbent) menggunakan fasilitas dan dana pemerintah setempat untuk keperluan kampanye politik. ICW mencatat bahwa dalam pelaksanaan pemilukada selama tahun 2010, dijumpai ada sekitar 504 kasus pilkada terkait penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Kondisi ini mengafirmasi fakta bahwa korupsi di daerah lebih banyak disebabkan karena masalah kepentingan politik (ongkos politik yang cukup tinggi) dan rendahnya moral para pejabat terutama pada usaha untuk memperkaya diri sendiri.

Kedua, korupsi kepala daerah disebabkan karena rendahnya pengawasan dari masyarakat. Kontrol yang kurang dari masyarakat menyebabkan pejabat daerah (kepala daerah) bisa seenaknya sendiri melakukan tindakan korupsi terlebih mereka merasa telah mengeluarkan ongkos politik yang teramat besar.

Buruknya performa kepala daerah terlebih tersangkut kasus korupsi semakin membelalakan mata kita bahwa transisi menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat sulit untuk diwujudkan. Fakta ini semakin menegaskan bahwa reformasi dengan segala macam instrumen yang dimilikinya dalam derajat tertentu justru memindahkan fenomena korupsi dari pusaran kekuasaan di tingkat pusat ke tingkat daerah. Disinilah ironi demokrasi semakin nyata adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun