Bayangkan Dunia Tanpa Hukum
Tak ada aturan lalu lintas, tak ada larangan mencuri, bahkan tak ada yang mencegah seseorang menyakiti orang lain. Apakah manusia bisa hidup damai dalam kondisi seperti itu? Artikel ini akan mengulas alasan mendasar mengapa hukum harus ada, dari sudut pandang filsafat, sosiologi, hingga contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum sebagai Penjaga Keteraturan Sosial
Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan, menggambarkan kondisi manusia tanpa hukum sebagai situasi penuh kekacauan. Ia berpendapat bahwa dalam keadaan alami, setiap individu bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan. Termasuk kekerasan dan penindasan. Tanpa hukum, manusia cenderung bertindak egois demi kepentingannya sendiri, bahkan dengan cara-cara yang merugikan orang lain.
Kerusuhan di Jakarta (Sumber: Wikipedia)
Contoh nyata: Kerusuhan massal saat terjadi vacuum of power, seperti peristiwa tahun 1998 di Indonesia, memperlihatkan bagaimana ketiadaan hukum dapat memicu kekacauan sosial.

Hukum berfungsi sebagai "aturan main" dalam kehidupan bermasyarakat, seperti aturan dalam pertandingan sepak bola. Tanpa aturan, permainan menjadi kacau dan penuh kecurangan.
Contoh sederhana lainnya: rambu lalu lintas mencegah kecelakaan; aturan kontrak melindungi hak pembeli dan penjual.
Hukum sebagai Pelindung Hak Dasar Manusia
John Locke mengemukakan bahwa setiap manusia memiliki hak alamiah—yaitu hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Hukum diperlukan untuk melindungi hak-hak tersebut dari pelanggaran, baik oleh individu maupun penguasa.
Contoh aktual: Undang-Undang Perlindungan Konsumen melindungi masyarakat dari penipuan oleh pelaku usaha. Hukum pidana mencegah kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau perampokan.
Bayangkan jika tanpa hukum yang menang adalah yang paling kuat atau paling kaya. Dalam masyarakat seperti itu, hak si lemah akan terus terabaikan bahkan menjadi korban. Contoh ekstremnya adalah praktik perdagangan manusia yang akan semakin merajalela tanpa hukum yang melarang.
Hukum sebagai Alat Mewujudkan Keadilan
Menurut Aristoteles, hukum memiliki fungsi korektif—yaitu memperbaiki ketidakseimbangan dengan memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan dan ganti rugi kepada korban.
Contoh ideal: Hukuman bagi koruptor seharusnya mengembalikan kerugian negara.
Namun, dalam praktiknya di Indonesia: sering terjadi ketimpangan, misalnya vonis ringan bagi koruptor dibandingkan dengan hukuman berat untuk pencuri kecil.
Pertanyaan kritis: “Jika hukum tidak adil, apakah kita masih membutuhkannya?”
Jawabannya: Justru karena ketidakadilan masih terjadi, hukum perlu diperbaiki—bukan dihapuskan.
Hukum sebagai Pondasi Peradaban
Negara-negara maju seperti Singapura atau Jepang dikenal memiliki penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Hal ini menciptakan stabilitas, yang penting bagi kemajuan masyarakat.
Investor asing, misalnya, cenderung enggan menanamkan modal di negara dengan sistem hukum yang lemah seperti kasus sengketa tanah yang tidak kunjung selesai.
Hukum juga memungkinkan adanya inovasi, misalnya melalui perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Tanpa perlindungan hukum, penemu dan kreator tak akan merasa aman, sehingga menghambat perkembangan peradaban.
Kritik terhadap Hukum: Apakah Hukum Selalu Baik?
Tidak semua hukum bersifat adil. Dalam sejarah, hukum juga pernah menjadi alat penindasan.
Contoh: Hukum apartheid di Afrika Selatan atau berbagai undang-undang diskriminatif di masa kolonial.
Pelajarannya: Hukum bukan sesuatu yang sakral. Ia harus terus dikritik, diuji, dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kapan hukum tidak dibutuhkan?
Dalam masyarakat kecil yang sangat homogen, norma dan adat bisa cukup mengatur kehidupan. Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks, hukum tetap menjadi kebutuhan dasar.