Mohon tunggu...
Fathur Rahman Alamsyah
Fathur Rahman Alamsyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang kuliah di fakultas FISIP UHAMKA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif Islam dalam Menghadapi Fenomena Penistaan Agama

10 Juli 2023   03:16 Diperbarui: 10 Juli 2023   06:14 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pexels

Fenomena penistaan agama telah menjadi isu yang sangat mengemuka dalam masyarakat pada masa kini. Tindakan penistaan agama, baik secara verbal maupun fisik, telah banyak menimbulkan konflik dan ketegangan antara penganut agama yang berbeda. Disini kita akan menganalisis tentang kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Pada pembahasan Surat Al-Maidah ayat 51 sangat gencar pada akhir-akhir ini. Ayat 51 Surat Al-Maidah yang dikutip bukan hanya karena mengandung ayat yang sering diambil untuk melarang pemilihan pemimpin non-Muslim, tetapi juga menjadi perbincangan hangat, terutama karena disebutkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. (Ahok). Dalam pertemuannya dengan masyarakat Kepulauan Seribu, banyak yang menilai, kata-kata yang dikeluarkan Ahok pada Surat Al-Maidah yang intinya berbunyi "Dibohongi pake Al-Maidah 51" itu dianggap bersalah melakukan penistaan agama secara sadar.

Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa protes besar-besaran pada tanggal 4 November 2016, karena adanya dugaan penistaan agama, selain itu aksi protes juga terus berlanjut secara besar-besaran, dapat dikatakan wacana penodaan agama merupakan wacana yang terus menimbulkan kontroversi. Hal ini terjadi tidak hanya di wilayah hukum positif, tetapi juga di wilayah pemikiran Islam secara keseluruhan. Apakah negara memiliki hak untuk memutuskan bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah mengolok-olok agama? Bukankah Tuhan saja yang berhak menghakimi seseorang yang menghujat agama? Pertanyaan semacam itu sering muncul dalam diskusi tentang siapa yang paling berhak dan berwenang memutuskan perkara yang berkaitan dengan agama.

Setelah memahami dengan seksama dasar hukum ini, Ahok harus menyikapinya dengan kepala dingin dan hati yang murni untuk mempelajari kesaksian tentang Kepulauan Seribu. Hal ini penting agar cara pandang perkara ini tidak hanya terfokus pada masalah, tetapi juga semaksimal mungkin untuk mencari solusi dan putusan hukum yang tepat. Beberapa analis berpendapat bahwa pernyataan Ahok di atas tidak hanya dibuat dalam ruang hampa, tetapi menyimpang dari fakta yang sebenarnya. Sejak Ahok mencalonkan diri sebagai calon Kabupaten Belitung Timur dalam pilkada dan terpilih sebagai Gubernur Belitung Timur, ia berhadapan dengan lawan politik yang kerap menggunakan surat al-Maidah ayat 51 sebagai bahan kampanye untuk menentang pemimpin non-muslim. Begitu pula setelah DKI Jakarta dilantik sebagai gubernur dan sebelum pilkada DKI 2017, tidak sedikit pihak yang menentang pemimpin non-muslim menggunakan ayat ini. (Misrawi, Kompas.com).

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan mengutuk simbol agama berlaku kapan saja, di mana saja. Mereka meyakini bahwa penodaan agama lain dapat menimbulkan dampak negatif yang juga dapat menebar benih kebencian. Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat ini bukan pertemanan dalam situasi damai dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan.

Dalam perspektif Islam melihat hal-hal tersebut, ide moral atau pesan utama dari ayat ini adalah, pertama, erintah untuk berteman dengan mereka yang dapat dipercaya, terutama dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial, dan larangan untuk bersekutu dan berteman dengan mereka yang ingin menipu. Perlakuan adil terhadap semua orang harus dihormati dan tirani atau ketidakadilan harus ditolak. Karena dalam hal hidup berdampingan antar suku dan agama yang berbeda, kelompok non-muslim juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan muslim. Tidak dilarang untuk bersikap baik dan berbuat baik kepada mereka.

Kedua, kewajiban bersama dan saling memenuhi kontrak atau kesepakatan bersama harus dihormati dan tidak dikhianati. Jika komitmen dan kesepakatan dirusak secara sepihak, maka akan terjadi hilangnya keimanan kelompok yang tertipu, seperti kaum muslimin Madinah yang hilang pada masa Nabi hingga kaum Yahudi dan Nasrani yang melanggar "Piagam Madinah". Poin yang paling penting adalah untuk membantu dan membantu satu sama lain.

Ketiga, ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan pemilihan kepala negara atau daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah haruslah seseorang yang dapat berbuat adil kepada seluruh rakyat di wilayahnya, tanpa memandang perbedaan suku dan agama.

Menurut Zuhaili (1418 H:324) Allah melarang Rasul-Nya dan umat Islam untuk mengkritik berhala orang musyrik, meskipun ini bermanfaat, tetapi kemudian lebih banyak merugikan daripada manfaatnya, yaitu penghinaan orang musyrik kepada Allah, seperti yang dikatakan Ibn Abbas. Ini berarti menunjukkan bahwa manfaat harus diabaikan ketika menyebabkan kerugian. Memang, pertanyaan ini secara khusus berkaitan dengan moralitas Islam dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemeluk agama lain. Ketika individu, organisasi atau agama lain melakukan penodaan agama, masyarakat tidak boleh mudah terprovokasi oleh isu-isu yang memecah belah bangsa, negara Republik Indonesia dan Amerika Serikat. Seperti yang telah dikemukakan oleh para ulama dan ahli, umat harus bersikap hati-hati dan mempertimbangkan untung rugi yang dihadapi bangsa ini dan umat Islam sehingga jika terjadi penistaan agama, sudah ada lembaga dan pihak yang terlibat untuk menanganinya. Dan akhirnya kerukunan umat beragama akan terus tercipta secara positif dan saling menghargai.

Yang luput dari pandangan publik, baik pendukung maupun penentang, Ahok menyebut surat al-Ma'idah ayat 51 dalam suasana kontroversial menjelang Pilkada DKI. Dalam iklim kontroversi, klaim yang "berlebihan" bukanlah hal yang aneh, tetapi merupakan bagian dari kampanye bahkan di negara yang paling beradab sekalipun kelompok tertentu yang menggunakan atau menyalahgunakan agama untuk tujuan politik (sekuler). Tujuan dari kontroversi adalah untuk memenangkan perselisihan argumen. Bahwa kalimat Ahok mengandung distorsi atau berlebihan dapat dipahami sebagai pernyataan yang kontroversial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun