Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang sering terjadi hamper di seluruh lapisan kelompok masyarakat. Alasannya  cukup jelas masyarakat belummampu melepaskan diri dari budaya patriarkhis yang selama ribuan tahun menjerat dan memaksa perempuan dibawah kekuasaan laki-laki. Bukan tanpa alasan bahwa pendidikan sangat penting bagi perempuan, karena perempuan memiliki peran penting dalam peningkatan kualitas generasi muda.
Sebagaimana dalam islam disebutkan Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya. Mengingat peran dan tanggung jawab  sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak, maka diperlukan kesadaran adanya peningkatan pendidikan bagi seorang perempuan. Namun patriarki, ruang gerak perempuan dibatasi karena perspektif yang kurang adil dalam mendudukkannya sebagaimana mestinya termasuk dalam hal pendidikan dan dunia kerja.
Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen dan tidak bisa berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara social dibentuk. Bias gender berlangsung dan disosialisasikan melalui proses pembelajaran disekolah dan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam dibenak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan. Begitupun dalam dunia pembelajaran di sekolah, misal pada sampul buku dan rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender contohnya, gambar seorang polisi selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai polisi memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar seorang guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh dan mendidik, padahal tak jarang juga guru itu laki-laki seperti kepala sekolah yang umumnya laki-laki.
Laki-laki dipandang lebih penting mencari ilmu, sebab kelak kaum laki-laki yang akan menafkahi keluarga, sdang kan perempuan tetap akan menjadi ibu rumah tangga. Dari anggapan ini, pendidikan tinggi dirasa kurang begitu penting bagi kaum perempuan. Pandangan seperti inilah yang terlihat tidak adik bagi salah satu pihak, khususnya pihak perempuan. Tak jarang juga perempuan ter-diskriminasi dalam kesempatan memperoleh pendidikan, seperti dinomorduakan oleh keluarga dalam hal pendidikan. Bagi keluarga yang ketika kondisi ekonomi tidak memungkinkan, orang tua akan lebih mendahulukan anak laki-laki nya untuk melanjutkan pendidikan daripada anak perempuannya. Dengan rasionalisasi laki-laki dianggap akan menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, sehingga pendidikan lebih penting untuk mendukung perannya. Sehingga perempuan dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga mengurusi rumah, anak, dan suaminya.
Sebenarnya anggapan seperti itu tidak selalu benar. Bagaimana seandainya kondisi menuntut dibutuhkannya sebuah peran perempuan dalam memimpin rumah tangga dan mencari nafkah untuk keluarganya?, jika perempuan tidak memiliki kualitas pendidikan yang memadai, maka akan sulit perempuan menjalankan perannya untuk menggantikan peran laki-laki dalam keluarga.
Memang derajat laki-laki lebih tinggi daripada derajat perempuan, tetapi bukan berarti bisa seenaknya laki-laki memperlakukan Perempuan seenaknya. Contohnya dalam perintah wajib Allah istri di wajibkan melaksanakan perintah-Nya, tetapi dalam sunnah istri boleh mengerjakan amalan sunnah(berpuasa) tetapi wajib izin kepada suami terlebih dahulu. Dari situ dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan hak dalam pengambilan keputusan antara suami dan istri terkait ibadah sunnah. Jika istri harus meminta izin kepada suami untuk melakukan amalan sunnah, sementara suami tidak memiliki kewajiban serupa terhadap istri, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam kebebasan beribadah.
Dalam konteks kesetaraan, idealnya suami dan istri memiliki hak yang sama dalam menjalankan ibadah sunnah tanpa perlu izin, melainkan cukup dengan musyawarah dan saling menghormati. Prinsip ini lebih menekankan pada kemitraan dalam rumah tangga, di mana keduanya dapat berdiskusi untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban agama dan tanggung jawab keluarga, tanpa adanya dominasi salah satu pihak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI