Saya sudah puluhan tahun bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bukan maksud menyombongkan diri tapi inilah kenyataannya. Waktu begitu panjang membentuk pribadi menjadi berbeda dari semula.
Awal mulanya, saya adalah sosok pemalu, pendiam dan cenderung mengalah. Tapi dalam dunia kerja yang waktunya mungkin habis di tempat kerja dari pagi sampai sore, pulang hanya untuk istirahat merubah pribadi saya. Suasana yang menjadikan tempat kerja menjadi rumah kedua.
Waktu itu, karena LSM kami mempunyai jaringan yang luas, maka saya mempunyai rekan kerja dari sabang sampai merauke. Dari berbagai suku mulai Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Minang dan lain-lain. Maupun dari berbagai agama. Kondisi ini juga membentuk kami semua untuk saling bertoleransi, saling menghormati, saling menghargai perbedaan yang ada.
Boss kami dulu terkenal sangat disiplin, tegas dan bukan beragama Islam. Tapi beliau sangat toleransi terhadap semua staf. Time is money, tapi kami dibebaskan untuk ibadah khususnya Islam, untuk sholat memakai jam kantor. Ruang mushala di buat sebersih dan senyaman mungkin. Di bulan puasa, selalu di buat acara buka bersama, pengajian bersama. Sifat toleransi beliau yang tinggi menjadi panutan dan melekat hingga kini.
Pribadi saya berubah menjadi Pluralisme. Pribadi yang menghargai, menghormati dan bertoleransi dengan perbedaan yang ada. Â Termasuk juga memahami karakter orang yang beraneka ragam.
Di masa itu, jumlah staf cukup besar, Â kira-kira.100 orang. Tapi tidak setiap hari di kantor karena banyak di lapangan dan kantor lapangan juga tersebar di beberapa wilayah. Jumlah staf pria lebih banyak dari perempuan, perempuan mungkin hanya sekitar 10 %. Namun tidak ada perbedaan gender disini, semua diberlakukan sama.Â
Jadi bekerjasama dengan pria maupun perempuan tak ada bedanya. Makanya saya agak tomboy karena lebih banyak bergaul dengam pria. Menurut saya, bekerjasama dengan pria tidak rumit. Mereka easy going. Beda dengan perempuan agak ribet. Tapi tetap ya kita harus bertoleransi dengan kondisi ini.
Rasa kekeluargaan kami sangat tinggi. Semua sudah seperti saudara sendiri. Dan itu masih berlaku hingga kini. Mas Khusnul Zaini yang juga sama-sama menulis di Kompasiana adalah rekan kerja sekaligus pembela kami diwaktu itu. Mas KN begitu kami memanggilnya, memperjuangkan hak-hak kami sebagai pekerja waktu itu. Point kekeluargaan saya dapat disini.
Dalam suasana kerja, kami dituntut untuk loyal, jujur, harus berani bicara, mengkritik dan tentu saja siap dikritik. Semua orang bebas berbicara dengan ketentuan bicara atas kebenaran. Jika salah harus berbesar hati mengakui kesalahan.
Biarpun pimpinan kalau salah, staf boleh bicara atau menegur bahwa itu salah. Dalam sebuah diskusi kita boleh saling berdebat. Saling lempar kursi juga boleh he he he. Sampai kita menemukan mana yang benar. Tapi setelah diskusi semua bisa tertawa bersama kembali.