Mohon tunggu...
Alvia Fasya
Alvia Fasya Mohon Tunggu... Mahasiswa

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Korupsi Kolusi Nepotisme dan Krisis Identitas Bangsa

4 Juli 2025   06:49 Diperbarui: 24 Agustus 2025   16:53 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tiga kata yang sudah terlalu akrab di telinga masyarakat Indonesia, namun tetap menjadi momok yang menghantui kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiganya tidak hanya merupakan bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral dan etika yang semestinya menjadi pondasi pemerintahan dan kehidupan sosial. Meski sudah puluhan tahun berlalu sejak reformasi 1998 yang menjadikan pemberantasan KKN sebagai salah satu agenda utamanya, praktik-praktik tidak bermoral ini masih tumbuh subur di berbagai sektor. Saya berpendapat bahwa KKN bukan hanya masalah struktural atau kelemahan sistem hukum semata, tetapi juga cerminan dari lemahnya integritas individu dan budaya permisif yang telah lama mengakar.

KKN adalah akronim dari tiga praktik yang saling berkaitan dan saling memperkuat. Korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Bentuknya bisa berupa penyuapan, penggelapan anggaran, atau penambahan biaya proyek yang tidak wajar. Kolusi merupakan kerja sama rahasia antara pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan dengan cara melanggar hukum, seperti menyuap pejabat agar mendapatkan sebuah proyek. Sementara itu, Nepotisme adalah pemberian jabatan atau fasilitas kepada keluarga atau kerabat, bukan berdasarkan kompetensi, melainkan hubungan personal, seperti mengutamakan pengisian lowongan pekerjaan untuk kerabat atau teman sendiri tanpa mengikuti prosedur rekrutmen tenaga kerja yang sesungguhnya. Ketiganya merusak prinsip meritokrasi dan keadilan sosial dalam masyarakat. 

Ketiga praktik ini sering kali berjalan beriringan, saling melengkapi, dan membentuk sebuah sistem tidak terlihat yang menggerogoti fondasi keadilan sosial. Korupsi yang dilakukan secara pribadi sering kali ditutupi oleh kolusi dengan pihak lain, dan nepotisme memperkuat siklus ini dengan menempatkan orang-orang yang tidak layak namun loyal untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Dalam kondisi seperti itu, integritas dengan mudah dikalahkan oleh loyalitas semu. 

Masalah KKN bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari budaya permisif yang membiarkan pelanggaran kecil menjadi kebiasaan. Ketika seorang individu melihat bahwa orang lain bisa mendapatkan keuntungan besar tanpa hukuman, maka ia cenderung terdorong untuk melakukan hal yang sama. Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana ketidakjujuran justru dianggap sebagai cara bertahan hidup atau bahkan sebagai kecerdikan. 

Dampak dari KKN sangat nyata dan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dana pembangunan yang seharusnya digunakan untuk fasilitas umum tidak sampai ke tangan masyarakat secara utuh karena adanya pemotongan tidak sah di berbagai tingkatan. Akibatnya, jalan yang dibangun cepat rusak, sekolah kekurangan fasilitas, dan layanan publik berjalan tidak optimal. Ketika posisi penting diberikan bukan kepada orang yang kompeten tetapi kepada mereka yang "punya kedekatan", maka mutu pelayanan, pengambilan keputusan, dan kualitas kebijakan menjadi buruk. Pada akhirnya, masyarakat luas menjadi korban dari sistem yang timpang ini. 

Lebih memprihatinkan lagi, KKN bukan hanya terjadi dalam skala besar atau di tingkat tinggi. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, praktik-praktik kecil seperti "suap", pemberian hadiah sebagai syarat untuk dilayani, hingga kedekatan pribadi untuk mendapatkan kemudahan, telah menjadi sesuatu yang dianggap normal. Dalam konteks ini, KKN menjadi bukan hanya masalah sistemik, tetapi juga masalah kultural budaya yang membenarkan cara-cara tidak sehat untuk mencapai tujuan.

Upaya untuk memberantas KKN tidak akan pernah berhasil jika hanya mengandalkan aturan dan hukuman. Perlu kesadaran moral dan keberanian kolektif untuk menolak praktik ini, mulai dari diri sendiri hingga lingkungan terkecil seperti keluarga, sekolah, dan tempat kerja. Pendidikan integritas, transparansi dalam pengambilan keputusan, dan keteladanan dari orang-orang yang dipercaya, merupakan elemen penting untuk menciptakan perubahan jangka panjang. 

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah penyakit kronis dalam tubuh bangsa Indonesia yang belum juga sembuh meskipun sudah lama diupayakan pengobatannya. KKN tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai moral dan rasa keadilan masyarakat. Saya percaya bahwa selama masih ada orang-orang yang memiliki keberanian untuk berkata "tidak" pada KKN, harapan akan perubahan tetap hidup. Namun, perubahan itu harus dimulai dari dalam diri kita masing-masing, dari pilihan-pilihan kecil yang jujur, hingga sikap tegas dalam menolak segala bentuk ketidakadilan. Indonesia yang bebas dari KKN bukanlah utopia, tapi cita-cita yang layak diperjuangkan oleh setiap warga negara yang mencintai tanah air ini.  

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun