Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Agraria dan Politik Mata Air Berbuah Air Mata

25 September 2010   08:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan klaim dan arogan jika republik ini merasa kaya dengan ketersediaan sumeber daya alam (SDA) yang melimpah. Sedangkan SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. SDA bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya. Konstitusi kita pun telah mengatur pada pasal 33 ayat 3 "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Nyatanya, apa yang tertulis dalam kosntitusi tersebut hanya menjadi slogan sekaligus jargon semata. Dan lebih parah lagi terjangan gelombang liberaslisasi sekaligus privatisasi terhadap SDA tengah menari-nari di depan mata kita. Pertambangan, kehutanan, perkebunan, mata air semua dikuasai korporasi mulai dari lokal sampai asing. Ini mengindikasikan ada tata kelola yang salah sehingga mebenarkan terjadinya pengkhianatan terhadap amanah konstitusi. 24 September 50 tahun yang lalu pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau biasa dikenal UU PA. Maka dari itu setiap tahunnya tanggal 24 September diperingati sebagai hari agraria. Ada yang perlu dikoreksi sekaligus diluruskan mengenai definisi dan cakupan kata agraria. Mengapa? Karena selama ini pemahaman yang sempit telah mendegradir undanng-undang agraria hanya sebatas aturan pertanahan saja. Agraria berasal dari kata dalam bahasa latin ager: tanah atau sebidang tanah, agrarius: perladangan, persawahan, pertanian. Sedangkan menurut KBBI, Agraria adalah urusan pertanian, tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah. Cakupan agraria sendiri sangatlah luas meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya meliputi ruang angkasa. Bumi/tanah: permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air. Hukum Agaria dalam UU PA meliputi: Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum Pertambangan, Hukum Perikanan serta Hukum Penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. Nah, spesialisasi Hukum Agraria telah  selain mendegradir hanya sebatas peraturan pertanahan saja juga menimbulkan undang-undang lintas sektoral yang tumpang tindih satu sama lain dan tidak didasarkan pada UU PA. Undang-undang sektoral adalah konsekuensi dari laju pembangunan akibat kekurangsempurnaan pada UU PA itu sendiri. Dengan demikian muncullah Undang-undang Sektoral: Kehutanan, Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi, Lingkungan Hidup, Sumber Daya Air dsb. Tentunya Undang-undang Sektoral tersebut dibuat berdasarkan visi, misi dan orientasi pada sektor yang bersangkutan sehingga seringkali menimbulkan disharmoni satu sama lain bahkan disharmoni tersebut juga terjadi dengan tata perundang-undangan yang diatasnya sekaligus undang-undang terdahulu (UUD 1945 dan UU PA). Untuk menghindari disharmoni antara UU PA dan Undang-undang Sektoral UU Agraria yang baru harus difokuskan mengatur pertanahan, pemilikan dan pendistribusian tanah saja sehingga tidak ada tumpang tindih lagi. Pemerintah (Presiden, DPR, BPN,Ahli, Praktisi dan Akademisi) harus segera menuntaskan reformasi agraria yang dimulai sejak tahun 1998 sehingga pendistribusian kepemilikan tanah dapat adil dan merata dan melindungi rakyat pribumi. Politik Mata Air Berbuah Air Mata Kembali melihat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pedoman Pokok-pokok Agraria yang dilandaskan pada pasal 33 ayat 3 tersebut. Yang perlu diketahui adalah bahwasanya dalam UU PA juga membahas dan mengatur tentang Hukum Air. Melihat praktik kehidupan saat ini dimana telah terjadi pemilikan sejumlah mata air oleh sejumlah perusahaan air minum kemasan baik asing mau pun lokal. Artinya selama ini telah terjadi liberalisasi dan privatisasi sumber daya air khususnya mata air. Air atau pun mata air berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 adalah public goods/collective goods akibat gelombang liberalisasi dan privatisasi telah menjadikan air  menjadi private goods. Secara filosofi perubahan cara pandang terhadap air (komodifikasi air) telah mendorong lahirnya persoalan-persoalan sosial dan lingkungan secara serius. Akibat perubahan cara memandang air ini maka pelan tapi pasti perebutan sumber daya air akan, bahkan telah, melahirkan konflik-konflik yang terbuka yang melibatkan masyarakat, bisnis dan negara. Dengan adanya kenyataan semacam ini maka bisa dilihat betapa kuatnya pengaruh ideologi liberalisme baru terhadap cara berpikir memaknai air sebagai komoditas. Salah satu bentuk riil dari komodifikasi air adalah meningkatnya produksi minuman dalam kemasan yang hadir dalam kehidupan kita mulai dari kondangan, di lampu merah. restoran, tempat wisata, kaki lima bahkan ukuran galon untuk kebutuhan sehari-hari. Minuman dalam botol dan kemasan lain (terutama air mineral) telah menjadi salah satu industri yang perkembangannya sangat dahsyat, namun tidak diregulasi secara ketat di berbagai negara. Dan fakta yang ada perusahaan air minum kemasan besar sekaligus didominasi asing mensyaratkan memiliki mata air pribadi sebagai raw materialnya dan kelebihan modal yang mereka miliki bisa membuat rakyat bahkan Pemda bertekuk lutut untuk menyerahkan SDA (mata air) untuk dihisap sampai kering. Dengan tingkat profit yang sedemikian tinggi maka menjadi logis, dalam nalar perusahaan-perusahaan pengelola air, untuk selalu meningkatkan produksi. Ekspansi usaha lantas dilakukan di segala penjuru dunia oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Nestle, Coca Cola, Pepsi, Danone, dll. Sumber-sumber mata air terbaik menjadi target eksploitasi dari ekspansi bisnis mereka tanpa memperdulikan apakah sumber air tersebut akan merugikan masyarakat dan menciptakan persoalan ekologis. Kata Barlow dan Clarke  dalam Who Owns Water, ”In rural communities all over the world, corporate interests are buying up farmlands, indigenous lands, wilderness tracts and whole water systems, then moving on when sources are depleted”. (Dalam masyarakat pedesaan di seluruh dunia, kepentingan korporasi yang membeli lahan pertanian, tanah adat, hutan belantara dan sistem saluran air secara keseluruhan, kemudian pindah ketika sumber yang habis). Dalam prakteknya, proses ekspansi bisnis air ini tidaklah bisa bekerja tanpa adanya dukungan administratif dan politik dari pelaku-pelaku baik yang ada di lembaga-lembaga internasional, pemerintah nasional, bahkan pemerintah di level desa. Di level global, berbagai perjanjian telah ditandatangani oleh berbagai negara untuk membantu perusahaan-perusahaan besar untuk mengontrol suplai air domestik mereka. Ini misalnya terangkum jelas dalam perjanjian-perjanjian yang diorganisir North American Free Trade Agreement (NAFTA), Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), maupun World Trade Organization (WTO) yang menyatakan secara tegas bahwa air adalah “good” dan “investment”. Di level nasional, berbagai negara termasuk Indonesia, berbagai aturan perundangan dikeluarkan untuk melancarkan proses penguasaan sumber daya air oleh swasta. Di Indonesia, undang undang tentang sumber daya air telah disahkan pada tahun 2004 lewat UU No. 7/2004. Dalam sejarahnya, undang-undang ini muncul karena adanya desakan dari Bank Dunia yang memberikan pinjaman bersyarat kepada pemerintah Indonesia. Melalui program WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) yang ditandatangani pada tahun 1998. Bank Dunia menegaskan bahwa pinjaman sebesar 300 juta dollar dari program itu tidak akan diperbarui apabila pemerintah tidak mengubah kebijakan pengelolaan air. Di level lokal, kini banyak pemerintah daerah membuka diri lebar-lebar terhadap investasi dari luar untuk mendongkak pendapatan daerah mereka. Dengan berbekal argumentasi otonomi daerah, kini semakin banyak pemerintah daerah yang mengembangkan kebijakan pengelolaan air yang lebih ramah terhadap pelaku pasar: privatisasi air. Proses yang dijalankan memang beragam. Ada yang melalui kerjasama, utang bersyarat, investasi bersyarat, bahkan penjualan perusahaan-perusahaan air minum lokal. Umumnya, pemerintah daerah menyetujui adanya pengelolaan air di daerah kepada perusahaan-perusahaan besar karena logika praktis dalam mendapatkan sumber ekonomi secara cepat. Narasi tersebut memberi gambaran terang bahwa penjajahan nalar ekonomi terhadap institusi negara, dan juga aktor-aktor dalam negara, telah membawa implikasi serius pada pelemahan kuasa negara untuk mengatur public goods. Pengaruh modal menjadi sedemikian kuat terhadap arah kebijakan negara. Dalam literatur ilmu politik, fenomena semacam ini disebut sebagai the captured state, dimana aktor-aktor-aktor swasta mengkooptasi dan menggerakkan institusi negara. Meskipun secara teoritik persoalan tersebut masih bisa diperdebatkan, akan tetapi jauh lebih penting adalah telah terjadi pergeseran secara serius dalam filosofi dasar tentang kebijakan publik. Jika mata air-mata air ini dikuasai pribadi atau  perusahaan baik asing mau pun lokal terus dibiarkan bukan tidak mungkin lama kelamaan akan menimbulkan air mata rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun