Mohon tunggu...
Faridz Artha
Faridz Artha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psychological Analyst, State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membincang Umat Muslim dalam Membincang Globalisasi sebagai Grand Design Korporatokrasi (Ringkasan)

21 Februari 2013   03:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:58 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adakah yang tau tentang arah arus globalisasi hendak menuju kemana? Bagi yang mengaku ada yang tau tentu sulit untuk diterima kecuali orang-orang yang memiliki kredibilitas maupun elektabilitas tinggi untuk mendesain produk global, dibawa kemana arah bumi ini melangkah. Posisi global saat ini yang menawarkan konsep efisiensi materi, waktu, dan energi mampu membuat manusia yang tidak mempunyai konsep diri menjadi linglung. Bayangkan, produk-produk baru bermunculan dengan berbagai macam tawaran yang selalu baru, terus baru, dan akan selalu baru. Akankah terus menerus menjadi follower, ataukah konsep diri ini digantikan dengan teknologi? Ada seorang teman menyentil fenomena unik era global dengan istilah ‘digital nativ’, yang mana ini merupakan gejala penjawaban salam di dunia nyata tak dijawab maka  tidak menjadi persoalan, sedang lain cerita dengan dunia maya dengan tidak dibalasnya komentar/tweet dari seseorang nun jauh disana bisa menyebabkan kejengkelan. Sebenarnya fenomena ini bukan bermula dari dunia maya, melainkan sebelumnya yakni handphone (HP)yang menawarkan konsep SMS pertama kali. Harga SMS pertama kali ketika penulis baru memegang  (HP) sekitar 350-an rupiah, sedangkan kini tinggal kirim beberapa SMS dengan menghabiskan pulsa 350-an tersebut sudah mendapat bonus ratusan SMS, bahkan ada yang ratusan SMS. Terlebih lagi sejak dikeluarkannya blackberry yang menawarkan gagasan BBM-nya. Dengan pembelian pulsa paket 50 ribu sudah mampu dibuat BBM perbulan bagi selular tertentu, atau 2500 an perhari yang dapat digunakan sepuas-puasnya.

Untuk membendung fenomena ketidakjelasan dari arah globalisasi yang ditangkap secara umum oleh umat manusia, maka kehadiran konsep diri sedang dibutuhkan untuk membendung arus ideologi imitasi (meminjam gagasan Mark) yang membanjiri derasnya arus informasi dari alam sekitar. Bagi yang diam dapat terancam, maka pilihannya ialah bergerak untuk maju/kalah, ataukah tidak maju melainkan memilih mati ditempat karena teknologi yang kian membunuh secara keji. Kehadiran konsep diri ideal tentu yang efektif ialah dengan dilandasi ghirah Islam, yang mana Cak Nur mengutarakan ada 2 pembagian konsep Islam yakni Islam khusus dan Islam umum. Dengan maksud kata khusus itu untuk kepentingan syari’ah diri sendiri dan kata umum berorientasi secara umum bagi kebaikan umat secara mayoritas, amar ma’ruf (problem solver) – nahi munkar (solidarity maker). Islam yang memiliki orientasi bahwa pemakaian perangkat globalisasi berdasarkan pengertian sebagai khalifatullah fi al-Ardhi, bukan yang lain sebab menyembah selain tuhan apalagi media maka disitu menyebabkan spiritual patologis.

Seru apabila menyimak apa yang disampaikan oleh William G. Carr dalam buku yang berjudul Yahudi Menggenggam Dunia. Dari judul disampaikan secara tersurat, gamblang, dan blak-blakkan siapa yang memegang dunia saat ini. Buku tersebut memperlihatkan sejarah bagaimana ketika pertama kali Yahudi ingin menggenggam dunia serta apa sejarah mengapa Yahudi sangat membenci agama Islam dan Kristen. Memang secara ikhtiar para orang-orang Yahudi yang kini sedang menggenggam dunia tidak bisa diremehkan militansi perjuangannya. Patut dicontoh bagaimana semangat mereka dalam memperoleh tujuannya, namun usaha-usahanya perlu difilter lagi apakah cara mereka sudah baik atau tidak bagi umat manusia. William G. Carr juga menyebutkan bahwa ada politik dibalik tirai di Amerika dengan orang-orang Yahudi sebagai dalang. Darisini, penulis berfikir bahwa saat ini memang Yahudilah yang sedang memegang arus globalisasi dengan menjadikan Amerika sebagai perisainya. Menggunakan strategi politik Judeo-Christian Ethic yang menyatukan negara yang mayoritas penduduknya Yahudi, yaitu Israel dengan menggandeng Amerika sebagai mitra penguasa dunia. Berawal dari kisah sejarah kelam yang tidak mengenakkan, yakni peristiwa holocaust yang dikultivasi pihak Yahudi dengan alasan negara barat moyoritas tidak bertanggungjawab terhadap penguasa Yahudi dalam Diaspora (Lihat Paul Findley, Mereka Berani Bicara, Mizan, Bandung 1990). Mulai pada saat itu doktrin yang dicantapkan pasca perang dunia dua, Yahudi adalah mitra barat dalam hal ini negara adikuasanya yaitu Amerika. Tampak jelas ketika Hillary Clintonsebagai Menlu AS pada waktu sidang PBB tidak menyetujui Palestina, salah satu musuh Israel, sebagai negara pemantau yang sah di PBB, sehingga otomatis dianggap merdeka dengan kepemimpinan Mahmoud Abbas. Selain itu, politik AS yang selama ini membentuk korporatokrasi via IMF (International Monetary Found) dan World Bank digunakan sebagai lintah yang siap menghisap darah sumber daya di negara-negara yang menjadi sasarannya (dalam John Perkins, The Secret History of American Empire, Economic Hit Man, Jakals, and The Truth Global Corruption, Ufuk Press, Jakarta) bersama agen CIA-nya.

Sepertinya para penganut Islam (baca: umat muslim) memang sedang dirugikan oleh peradaban. Apabila kita tinjau lebih jauh lagi, misalnya Negara yang dipercaya sebagai dewan keamanan di PBB, manakah yang mayoritas penduduknya muslim? Mari coba kita uraikan dewan keamanan di PBB. Beberapa negara tersebut ialah Amerika Serikat dan Inggris yang mayoritas Kristen Protestan, Perancis mayoritas Kristen Katolik, China dengan mayoritas Buddha dan Konghucu, India mayoritas Hindu, Jepang dengan kepercayaan Shinto, Jerman dengan agama Kristen Protestan, dan Brazil dengan mayoritas Kristen Katolik. Ironis, Negara yang mayoritas muslim penduduknya belum ada. Negara Iran yang tidak punya hutang luar negeri tidak dicantumkan sebagai Negara berpengaruh. Entah ada apa gerangan.  Andaikata ada pun, sekarang fenomenanya sudah bisa kita lihat, umat muslim lebih sibuk dengan pembahasan seputar ikhtilafiyah (perpedaan). Perihal keadilan sosial dan ekonomi mendapat porsi kesekian daripada ikhtilafiyah (perbedaan) tentang perbedaan perayaan mauled Nabi Saw., Negara Islam yang bagaimana, redifinisi bid’ah, dan problematika yang menjadikan nyenyak umat muslim dalam perpecahan internal umat. Ghazw al-fikriy (peperangan intelektual) secara umum sedang dibutuhkan saat ini, sebagai striking force kebodohan-kobodohan yang sedang menumpulkan pikiran tiap-tiap generasi muslim karena arus global yang tak mampu terfilterisasi. Padahal negara yang mayoritas penduduknya muslim ada sekitar 52-an diantara 200 negara (kata bang Yun Sirno, penulis Keajaiban Belajar). Bukankah yang kita doakan biasanya menghendaki kesuksesan dunia akherat, sebagai orientasi menuju Allah dengan selamat.

Setelah dijabarkan secara sekilas bagaimana kondisi negara yang mayoritas muslim di PBB, kuantitas, serta bagaimana secara umum pembahasan ikhtilafiyah yang diperdebatkan dan tidak berujung, maka menarik apabila mensitir pendapat Amin Rais sebagai problem solving atas itu. Amin Rais (dalam Pembaharuan Pemikiran Islam, Mizan, Bandung, 90) menyebutkan tiga jawaban bahwa sebagai umat muslim kita perlu:


  1. Kerjasama yang kondusif antara politisi, teknokrat, intelektual, pengusaha, dan professional untuk membina proses kebangkitan Islam dalam ranah kenegaraan yang mengupayakan keadilan sosial dan ekonomi.
  2. Dominasi pemikiran intelektual barat sudah semestinya diakhiri. Barangkali jarang kita sadari bahwa kita mengidap westomania yang berat dengan merasa superioritas barat, terutama Amerika sebagai negara adi daya yang berhak menentukan semua kuasanya. Tentu disinilah ada semacam distorsi kognitif dalam memandang objektifitas. Banggalah dengan karya sendiri atau ilmuwan yang berasal dari negeri sendiri.
  3. Dikotomi antara ulama dan intelektual seyogyanya tidak mendapat jurang perbedaan yang tajam karena keduanya merupakan komponen penting dalam sinergitas skill yang ada pada diri tiap-tiap muslim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun