Mohon tunggu...
farid wong
farid wong Mohon Tunggu... -

hanya lelaki yang kebetulan lewat, sama sekali tak hebat, tapi suka bersahabat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jazz Mben Senen: dari Improvisasi sampai Intimasi Tanpa Basa-basi

29 Juli 2016   13:38 Diperbarui: 29 Juli 2016   22:13 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto adalah koleksi pribadi

Percayalah, saya bukan pemusik, apalagi pemusik jazz. Saya cuma penikmat musik jazz. Itu saja. Makanya, setiap ada pentas jazz, terutama di Yogya, saya berusaha untuk menontonnya.

Betapa beruntungnya saya karena di Kota Gudeg yang saya tinggali ada pentas jazz mingguan. Namanya “Jazz Mben Senen” – diambil dari bahasa Jawa yang berarti jazz tiap hari Senin. Pergelarannya memang dilakukan setiap Senin malam di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), mulai sekitar pukul 8 malam dan berakhir seputar tengah malam. Helatan tanpa dipungut biaya alias gratis ini diprakarsai oleh rekan-rekan dari Komunitas Jazz Jogja.

foto adalah koleksi pribadi
foto adalah koleksi pribadi
Format pertunjukannya sangat cair, sesuai dengan karakter jazz yang terbuka; siapapun boleh bergabung, tak perlu sungkan, tak perlu basa-basi. Jangan pernah berharap bahwa di Jazz Mben Senen kita akan menyaksikan permainan sederet kelompok musik A, B, C dan seterusnya. Memang ada satu-dua kelompok yang berpentas, tapi selebihnya adalah jam session.

Pembawa acara biasanya sudah memantau siapa saja pemain-pemain yang hadir malam itu, dan langsung main comot beberapa nama untuk tampil. Para pemain berunding sebentar, lalu nada-nada jazz pun langsung mengalun, tentunya diselingi improvisasi spontan dari para pemain melalui alat musik masing-masing.

foto adalah koleksi pribadi
foto adalah koleksi pribadi
Spontanitas mendominasi sepanjang pertunjukan. Tak hanya dalam hal bermusik, celotehan-celotehan spontan juga sering terlontar dari pembawa acara dan penonton. Sang pembawa acara tentunya bukan MC profesional yang secara khusus didatangkan, tapi salah satu atau dua pemain yang lumayan bisa ndagel (membuat lelucon) gaya Jogja untuk membangun keriangan.

Panggung tak terlalu tinggi yang terdapat di halaman BBY nyaris tak pernah digunakan. Audiens dan pemusik berada dilevel yang sama, dan barangkali inilah yang membuat jalinan keduanya terbangun akrab dan hangat, tanpa basa-basi formalitas. Suasana egaliter pun turut terbentuk.

foto adalah koleksi pribadi
foto adalah koleksi pribadi
Kondisi tanpa panggung ini juga menjadikan kultur jam session kian lentur, luwes, tak membuat orang lain segan untuk nimbrung bermusik. Di suatu waktu, ketika permainan jazz sedang berlangsung dan salah satu pemain hampir menyelesaikan improvisasi, tiba-tiba dari tengah penonton terdengar sahutan lengkingan harmonika. Sambil terus berimprovisasi dengan harmonikanya, orang itu bergerak ke depan dan bergabung dengan pemain lainnya, diiringi tepuk riuh penonton. Setelah permainan usai, si pemain harmonika langsung bersalaman dengan pemain-pemain lainnya sekaligus berkenalan, karena sesungguhnya di antara mereka memang belum saling kenal sebelumnya.

Sejak digelar sekitar akhir 2009, bisa dibilang saya lumayan sering menongkronginya setiap Senin malam. Intimasi atawa keakraban di bawah atmosfer khas Jogja benar-benar saya rasakan. Saya jadi banyak kenal dengan para pemainnya, juga dengan sejumlah penonton yang sering hadir. Suasana kian hangat lantaran kita juga bisa nyruput kopi dari kedai kopi yang turut hadir di halaman BBY. Ngobrol, ngopi sembari menikmati jazz. Nyaman nian!

foto adalah koleksi pribadi
foto adalah koleksi pribadi
Saya juga melihat terbangunnya sifat guyub dan gotong royong di antara teman-teman dalam Komunitas Jazz Jogja. Mereka sudah biasa bergerak bersama, saling membantu. Jangan beranggapan mereka mempunyai pegawai untuk mempersiapkan pentas tiap Senin malam. Semuanya mereka kerjakan sendiri, mulai dari mempersiapkan peralatan musik, menata kursi sampai menggelar tikar. Begitu pula ketika memberesi segala sesuatunya seusai pentas.

Keguyuban dan kegotongroyongan dalam komunitas sepertinya mampu ditularkan ke publik yang hadir. Bukannya turut membantu mempersiapkan peralatan pentas, melainkan penonton secara sukarela rajin mengisi kotak sumbangan yang diedarkan ketika pergelaran berlangsung. Seperti kerap dikemukakan oleh pembawa acara, sumbangan dari penonton itu bukan diperuntukkan membayar para pemain, tapi untuk kebutuhan yang menyangkut peranti pentas; misalnya, untuk membeli kabel dan sejenisnya bilamana diperlukan. Tak ada pemain yang dibayar.

foto adalah koleksi pribadi
foto adalah koleksi pribadi
Yang paling saya suka, sebagian besar pemain dan penontonnya adalah orang-orang muda, bahkan ada yang masih berstatus pelajar sekolah menengah. Boleh dong saya merasa muda… hehehe. Jadi, Anda salah kalau membayangkan bahwa yang berkumpul di Jazz Mben Senen itu orang-orang berumur alias tua. Bersama orang-orang muda, semangat jazz lebih menyala di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun