Mohon tunggu...
Farid Maruf
Farid Maruf Mohon Tunggu... Perawat - Full-time Learner

Penikmat film. Mahasiswa dan tenaga kependidikan di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Ayat-ayat Cinta 2" yang Tak dapat Dipercaya

29 Desember 2017   14:31 Diperbarui: 30 Desember 2017   10:27 5356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak hal yang bisa dibincangkan dari film Ayat-Ayat Cinta 2 yang telah tayang di bioskop Indonesia sejak tanggal 21 Desember 2017 kemarin dan masih ditayangkan hingga tulisan ini dibuat. Saat pertama kali melihat novel Ayat-Ayat Cinta 2 terpajang di sebuah toko buku sekitar dua tahun yang lalu, saya sudah menduga bahwa novel tersebut akan kembali diangkat ke dalam film layar lebar sebagaimana novel sebelumnya yang berjudul Ayat-Ayat Cinta.

Sempat terbesit di benak saya sebuah pertanyaan: apa perlunya Ayat-Ayat Cinta dibuatkan sekuel? Pertanyaan itu kemudian berlanjut: kira-kira mana yang lebih dulu muncul, ide untuk menulis novelnya, atau keinginan untuk meraup jutaan penonton setelah nanti novelnya difilmkan? Sayangnya, tulisan ini tidak dibuat untuk memupuk prasangka-prasangka semacam itu.

Saya tertarik untuk membincangkan film (atau cerita, mengingat film ini diangkat dari sebuah novel) ini dari sisi penokohannya. Film Ayat-Ayat Cinta 2 berkisah tentang kehidupan Fahri, pemuda asal Indonesia yang meraih kesuksesannya sebagai seorang profesor muda di University of Edinburgh. Fahri digambarkan sebagai sosok yang prima secara fisik dan juga perilaku. 

Tak pelak lagi, Fahri menjadi buah bibir di kalangan para mahasiswa (perempuan, tentu saja). Sutradara menggambarkan hal ini dengan begitu banyak cara dan dari berbagai sudut pandang. Mulai dari perbincangan di antara mahasiswi tentang apakah Fahri "still available"---di dalam kelas di mana Fahri sedang mengajar, sampai adegan di mana Fahri mendapat banyak pemberian makanan buatan khusus dari "para" pemberinya yang, tentu saja, adalah perempuan.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Fahri digambarkan sebagai sosok yang demikian bijaksana dan matang. Fahri tinggal di sebuah lingkungan yang plural dalam hal agama (hal ini juga menjadi sorotan dalam film). Satu demi satu konflik di kehidupannya bertetangga berhasil dia selesaikan. Perihal negatifnya stereotip orang-orang di sekeliling Fahri tentang Islam---agama yang dianut Fahri---digambarkan dengan cara yang, setidaknya menurut saya, kurang apik, cenderung terlalu simplistis dan terlalu hitam-putih. 

Fahri tetap menjalin hubungan baik dengan para tetangganya bahkan saat mereka memusuhinya. Fahri menolak untuk marah saat satu demi satu tetangganya menunjukkan sikap-sikap permusuhan atas nama stereotip negatif tentang Islam. Maka jadilah Fahri sosok yang demikian sempurna.

Ya, sempurna, saya akan berhenti di sana. Tidak ingin mengulangi kesalahan sutradara yang telah membiarkan saya, penontonnya, bosan menyaksikan "kesempurnaan" Fahri, saya akan berhenti mendikte deretan kesempurnaan Fahri yang sejatinya masih banyak lagi (saya belum bicara soal percintaannya).

Adalah begitu mudah berimajinasi tentang sosok yang sempurna, cukup bayangkan bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain, maka demikianlah sosok yang sempurna. Fahri adalah orangnya. Sayangnya, tidak ada manusia semacam Fahri di dunia nyata. Dan karenanya, cerita kehidupan berikut sifat-sifat Fahri bagi saya tidak dapat dipercaya.

Saya menduga, penulis novel Ayat-Ayat Cinta 2 ingin menginspirasi pembacanya untuk senantiasa berbuat kebaikan bagi sesama, altruistis serta taat beragama---dengan cara menciptakan role model berupa sesosok tokoh rekaan dalam novel bernama Fahri. Fahri diharapkan dapat dijadikan contoh sosok altruis sejati, penganut agama tanpa cacat, serta pencinta tanpa kurang dan khilaf. Bahwa jika para pembaca (dan penonton) tidak bisa mencontoh keseluruhan sifat Fahri, sebagiannya pun tak mengapa. Sayangnya, fiction doesn't work that way.

Fiksi bekerja di alam bawah sadar para penikmatnya tidak dengan cara demikian. Kita ingin disuguhi tokoh yang benar-benar seperti manusia apa adanya. Kita sudah cukup tahu tentang malaikat yang sempurna ketaatannya, pun tentang iblis yang sempurna kelicikannya. Kita ingin manusia, yang siapa pun orangnya pasti memiliki peperangan dalam dirinya. Benak kita ingin disuguhi cerita yang tidak hitam atau putih, sebab kita selalu hidup di wilayah abu-abu. Kita ingin tokoh yang dapat dipercaya.

Orson Scott Card dalam bukunya berjudul Characters and Viewpoint yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit MLC pertama kali pada tahun 2005---menulis bahwa memang benar tokoh fiksi adalah manusia dan pengaranglah yang menciptakannya, namun bukan berarti tokoh tersebut tidak harus mirip manusia sesungguhnya dan seutuhnya. Bahwa kita seharusnya dapat mengenal tokoh fiksi bahkan lebih baik daripada kita mengenal orang-orang terdekat kita sekalipun. Karena itulah alasan orang menikmati fiksi: untuk mengenal manusia dengan lebih baik. Dan untuk dapat mengenal manusia dengan lebih baik melalui fiksi, tokoh fiksi haruslah dapat dipercaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun