Mohon tunggu...
Farid Farhan
Farid Farhan Mohon Tunggu... Freelancer - .

Belajar Menjadi Manusia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Kaum Sufi Tampil Mengelola Negara

27 September 2019   06:02 Diperbarui: 27 September 2019   06:25 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aneka tuduhan selalu mendera kaum sufi sejak lama. Mereka dianggap asosial (anti sosial) bahkan apolitik (anti politik). Tuduhan ini hadir sejak masa kolonial Belanda, seiring dengan keberhasilan taktik perang gerilya yang dicetuskan oleh Jenderal Sudirman. Jenderal Besar pengukir sejarah tinta emas dunia militer Indonesia itu merupakan seorang ikhwan Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah.

Pemerintah kolonial Belanda saat itu melakukan analisa tentang spirit yang mendasari perjuangan pasukan Sudirman. Penjajah berambut jagung itu merasa terheran melihat semangat yang begitu sporadis namun sangat terstruktur dan sistematis. Padahal, pasukan Sudirman hanyalah gabungan rakyat jelata. Penjajah bahkan menyebut mereka sebagai 'inlander' (cacing tanah).

Sebutan itu hadir menyusul penduduk nusantara saat itu tidaklah memiliki latar pendidikan formal dan militer yang cukup. Akan tetapi faktanya, para 'inlander' itu berhasil merepotkan para 'rambut jagung'. Susah payah mereka dibuatnya, hingga harus mengemis bantuan kepada berbagai pihak yang menjadi sekutunya.

Melihat latar belakang Jenderal Sudirman sebagai pemilik Talqin (Pembelajaran) Dzikir, penulis sama sekali tidak merasa heran. Amaliyah Dzikir memang akan menjadikan pengamalnya mampu menaklukan rasa takut dalam diri. Sehingga, jangankan pasukan penjajah, pasukan syaitan pun akan dibuatnya lari tunggang langgang, hilang tanpa kerana.

Jenderal Sudirman mengalirkan energi optimisme itu kepada seluruh pasukannya sehingga para serdadunya memiliki semangat juang yang sama dan rasa yang sama yakni keyakinan penuh akan mendapatkan pertolongan Allah swt saat menghadapi berbagai macam situasi dalam setiap pertempuran.

Belanda berhasil menganalisis jantung semangat para pejuang itu sehingga mereka menyebarkan isu untuk rakyat arus bawah bahwa Talqin Dzikir Thoriqoh tidak pantas didapatkan oleh orang awam. Tidak hanya itu, bahasa khutbah jum'at yang menggunakan bahasa daerah pun mereka imbau untuk diganti dengan menggunakan bahasa arab.

Alasannya, agar khutbahnya lebih afdhol atau lebih utama sebagai bahasa pengantar karena bahasa arab merupakan bahasa Rasulullah saw. Padahal, cara ini merupakan sekedar kedok agar propaganda perjuangan melawan kolonialisme terhenti. Biasanya, para khatib shalat jum'at menyerukan pekik perjuangan kemerdekaan melalui mimbar-mimbar masjid.

Sejak saat itulah, perjuangan kaum sufi dalam mewarnai kehidupan kebangsaan seolah terkebiri atas nama keutamaan bersyariat. Kaum sufi dianggap terasing, cukup berdiam di rumah atau di puncak gunung tanpa harus berinteraksi dalam kehidupan. Padahal, akhlak mulia hanya mampu 'bekerja' mewarnai kehidupan hanya jika digunakan untuk berinteraksi secara sosial.

Karena itu, tashawuf sebagai ilmu dan orientasi, thoriqoh sebagai satu-satunya metoda menuju tashawuf dan sufi sebagai pelaku atau pengamal harus menjalankan amaliyah dzikir sekaligus dengan aktivitas sehari-hari sebagaimana biasa.

Kalaupun ada keharusan untuk sejenak mengasingkan diri, itu sekedar dalam rangka latihan atau kaum thoriqoh menyebutnya sebagai 'riyadhoh'. Selepas itu, mereka kembali berbaur dengan lingkungan dan masyarakat untuk menjalankan peran dan fungsi sebagai anggota masyarakat bahkan sebagai penyelenggara negara sekalipun.

Artinya, atribut syariat sebenarnya bukanlah melulu menyoal tentang ibadah ritual. Framing semacam ini hanya akan menyempitkan tujuan Agama untuk membangun kesejahteraan umat secara keseluruhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun