Kasus korupsi di Pertamina yang mencapai angka fantastis, yaitu Rp 193,7 triliun, telah menimbulkan keheranan dan kekecewaan di kalangan masyarakat (Kompas, 2025). Ironisnya, uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk menekan harga BBM, sehingga lebih terjangkau bagi masyarakat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya; harga BBM di Indonesia tetap tinggi, bahkan Pertalite diduga dioplos dengan Pertamax (Tempo, 2025). Ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya merugikan negara tetapi juga membebani masyarakat.
Korupsi dan Mahalnya Harga BBM
Korupsi di Pertamina bukanlah hal baru, tetapi besarnya angka yang terungkap membuat kita semua terperangah. Uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk menekan harga BBM, sehingga masyarakat bisa menikmati harga yang lebih murah. Namun, korupsi ini membuat biaya operasional Pertamina membengkak, dan pada akhirnya, beban tersebut dibebankan kepada konsumen melalui harga BBM yang mahal (Kompas, 2025). Penetapan harga BBM oleh Kementerian ESDM juga disinyalir ikut berkontribusi pada mahalnya harga BBM. Padahal, jika kita melihat perusahaan lain seperti Shell, AKR, dan Vivo, harga BBM mereka bisa lebih murah karena tidak ada praktik korupsi yang membebani biaya operasional (Tempo, 2025).
Perbandingan dengan Negara Tetangga: Malaysia
Salah satu hal yang sering menjadi sorotan adalah perbandingan harga BBM antara Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, harga BBM jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia. Ini tentu membuat banyak orang bertanya-tanya: mengapa Indonesia tidak bisa meniru Malaysia dalam hal ini? Jawabannya mungkin terletak pada sistem pengelolaan migas yang lebih efisien dan transparan di Malaysia. Di sana, pemerintah memiliki kontrol yang lebih ketat terhadap harga BBM, dan praktik korupsi yang membebani biaya operasional bisa diminimalisir. Selain itu, Malaysia juga memiliki cadangan minyak yang cukup besar, yang memungkinkan mereka untuk menekan harga BBM (Reforminer, 2025).
Pengadaan Kuota Impor Migas yang Tidak Transparan
Salah satu masalah besar di Pertamina adalah pengadaan kuota impor migas yang tidak transparan. Seperti yang dikemukakan oleh Ahok, Pertamina tidak menggunakan Katalog Elektronik LKPP dalam proses pengadaan BBM impor. Ini membuat proses pengadaan sangat rentan terhadap korupsi. Tanpa transparansi, sulit untuk memastikan bahwa harga BBM impor yang dibayar oleh Pertamina adalah harga yang wajar. Ada kemungkinan besar bahwa harga tersebut sudah dimark-up oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini tentu saja akan membebani biaya operasional Pertamina, dan pada akhirnya, beban tersebut akan dibebankan kepada konsumen melalui harga BBM yang mahal (Tempo, 2025).
Solusi: Transparansi dan Efisiensi
Untuk menekan harga BBM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberantas korupsi di Pertamina. Ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi harus dilakukan jika kita ingin harga BBM lebih terjangkau. Transparansi dalam pengadaan kuota impor migas adalah langkah penting yang harus segera diambil. Pertamina harus menggunakan Katalog Elektronik LKPP untuk memastikan bahwa proses pengadaan dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengevaluasi mekanisme penetapan harga BBM. Jika harga BBM ditetapkan oleh Kementerian ESDM, maka proses ini harus dilakukan dengan lebih transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa harga yang ditetapkan adalah harga yang wajar dan tidak membebani konsumen.