Mohon tunggu...
Farida Priatmaja
Farida Priatmaja Mohon Tunggu... Penulis

Nulis, baca, traveling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dari Janji Manis, Jadi Racun di Piring Anak Negeri

8 September 2025   10:42 Diperbarui: 8 September 2025   10:42 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Gratis tapi berujung sakit, bahkan nyawa pun melayang---beginikah wajah kepedulian negara pada generasi penerusnya?"

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menjadi solusi untuk menyehatkan anak-anak bangsa, kini justru menimbulkan kekhawatiran dan duka. Ratusan siswa di berbagai daerah---mulai dari 427 siswa di Bengkulu, 135 di Sleman, 20 di Lampung Timur, hingga ratusan santri di Sragen---mengalami keracunan massal. Kejadian ini seolah menjadi bukti nyata bahwa program yang digadang-gadang sebagai penyelamat, justru berubah menjadi malapetaka.

Kasus di Lapangan Mengungkap Realita
Seorang wali murid di SMPN 3 Berbah, Sleman, menceritakan kepanikannya saat anaknya tiba-tiba muntah dan lemas setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. "Saya panik, langsung membawanya ke puskesmas," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Laporan laboratorium dari kasus ini menunjukkan penyebab keracunan adalah sanitasi yang buruk. Kondisi ini ironis, karena program yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) justru membahayakan keselamatan anak-anak.
Meskipun Badan Gizi Nasional telah menginstruksikan penghentian sementara program, banyak pihak mempertanyakan apakah tindakan ini sudah cukup. Keracunan yang terus berulang mengindikasikan adanya masalah sistemik dan kelalaian dalam pengawasan. Nyawa anak-anak dipertaruhkan, sementara penanganan masalah terkesan hanya bersifat sementara.

Program MBG digembar-gemborkan sebagai senjata ampuh untuk mengatasi malnutrisi dan stunting. Namun, keracunan yang berulang kali terjadi tanpa adanya evaluasi menyeluruh membuat program ini terasa seperti janji palsu.
Seorang siswa di Bengkulu yang terbaring di rumah sakit berujar lirih, "Katanya makanan sehat, tapi kenapa kami malah sakit semua?" Kalimat polos ini seakan menampar kita semua, menunjukkan bahwa rakyat diberi harapan semu: makan gratis hari ini, tapi risikonya ditanggung esok hari.

Banyak yang menganggap program ini dijalankan lebih untuk kepentingan citra politik daripada kesejahteraan rakyat. Jika standar operasional prosedur (SOP) tidak disiapkan dengan matang dan pengawasan dibiarkan longgar, bukankah ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat?

Seorang ibu di Sragen dengan nada getir mengungkapkan kekhawatirannya, "Kalau begini caranya, saya lebih tenang anak saya makan sederhana di rumah, daripada katanya bergizi tapi malah bikin masuk rumah sakit."

Islam tidak pernah mengajarkan negara untuk sekadar bagi-bagi makanan sesaat lalu lepas tangan. Negara adalah ra'in, pengurus umat, yang wajib memastikan setiap warga mendapatkan pangan bergizi, akses kesehatan layak, dan lingkungan yang sehat.

Negara mengelola kekayaan alam---tambang, energi, hutan, pertanian---untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Dengan sumber pemasukan syar'i, negara mampu memberi akses gizi, pendidikan, dan kesehatan yang menyeluruh. Edukasi gizi pun menjadi bagian integral, bukan sekadar jargon.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun