4. Ancaman Teknologi dan Otomatisasi
Kemajuan teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), semakin menekan pasar kerja. World Economic Forum (2023) memprediksi 14 juta pekerjaan berpotensi hilang pada 2028 karena otomatisasi. Bagi Gen Z yang baru memulai karir, ancaman ini mempersempit pilihan. Banyak yang akhirnya memilih bertahan pada pekerjaan yang ada, meskipun tidak sepenuhnya sesuai harapan, daripada mengambil risiko keluar dan tersisih oleh teknologi. Dalam kerangka career construction theory (Savickas, 2005), tekanan eksternal ini memicu pergeseran logis dalam adaptabilitas karir Gen Z. Daripada menggunakan curiosity untuk mencari peluang baru yang berisiko, Gen Z mengintensifkan concern (kekhawatiran akan stabilitas) dan berupaya merebut kontrol dengan meminimalkan transisi. Job hugging adalah tindakan rasional dan adaptif untuk mengkonstruksi pertahanan, mengubah narasi karir pribadi dari fokus pada pertumbuhan ambisius menjadi pengamanan keberlangsungan di tengah ketidakpastian masif.
5. Tekanan Sosial dan Budaya
Dalam konteks Indonesia, faktor budaya punya peran besar. Banyak keluarga masih memandang pekerjaan stabil terutama menjadi ASN sebagai simbol keamanan hidup jangka panjang. Dorongan orang tua agar anak "cepat mapan" membuat sebagian Gen Z lebih condong memilih pekerjaan yang memberi jaminan finansial, meski mungkin kurang sesuai dengan minat dan passion pribadi.
Meskipun job hugging menawarkan rasa aman secara finansial, kenyamanan zona bekerja, dan menjadi strategi bertahan sementara di tengah sulitnya pasar kerja, konsekuensi jangka panjangnya cenderung lebih serius dan melemahkan potensi karir Gen Z.
1. Jebakan Stagnansi Karir
Stabilitas yang dipaksakan oleh job hugging sering kali berujung pada stagnansi karir. Karyawan menjadi rentan karena mereka menghindari tantangan baru, hanya mengulang rutinitas yang sama untuk meminimalisir risiko. Kurangnya paparan pada proyek-proyek inovatif atau tanggung jawab yang berkembang membuat keterampilan mereka terhenti. Secara paradoks, karyawan yang "bersembunyi" dari perubahan pasar justru berisiko mengalami skill obsolescence (keterampilan usang), yang akan menurunkan nilai pasar mereka ketika mereka akhirnya memberanikan diri untuk job-hop lagi.
2. Hilangnya Potensi Finansial
Bertahan terlalu lama di pekerjaan yang sama dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, yang sering disebut salary gap atau kesenjangan gaji. Rata-rata kenaikan gaji saat seseorang pindah kerja berada pada kisaran 15% atau lebih, jauh melampaui kenaikan rata-rata sebesar 4% hingga 6% yang didapat jika bertahan di tempat kerja lama. Dengan job hugging, Gen Z secara sadar menukar potensi pendapatan tinggi di masa depan dengan keamanan yang relatif kecil di masa kini.
3. Loyalitas Rapuh dan Perasaan Terjebak
Penting untuk membedakan motivasi job hugging bukanlah quiet quitting (protes pasif), melainkan pilihan strategis untuk bersembunyi di balik stabilitas di tengah ketidakpastian ekonomi. Rasa takut, yang dipicu oleh ancaman PHK dan perlambatan pasar, membuat karyawan hanya menunggu badai berlalu. Namun, loyalitas yang tercipta ini sangat rapuh. Laporan Glassdoor Workli Trends 2025 menunjukkan bahwa 65% pekerja merasa terjebak dalam kondisi ini. Angka ini mengindikasikan bahwa job hugging hanyalah penundaan, dan kelompok ini siap terjun mencari peluang baru segera setelah pasar kembali memberi sinyal positif.