Mohon tunggu...
Farhan
Farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister

Tertarik dengan fenomena sosial

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dari Job Hopping ke Job Hugging: Pergulatan Gen Z pada Dunia Kerja

28 September 2025   17:32 Diperbarui: 29 September 2025   14:29 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia industri terus bergerak dengan perubahan yang cepat. Jika pada masa pasca pandemi kita kerap menyaksikan fenomena job hopping karyawan dengan kompetensi tinggi menuntut gaji, tunjangan, hingga pola kerja jarak jauh, kini tren tersebut mulai bergeser. Selama bertahun-tahun, Gen Z sering mendapatkan label sebagai kutu loncat dalam dunia kerja. Mereka dikenal gemar berpindah-pindah pekerjaan dengan cepat demi gaji yang lebih besar, pengalaman baru, atau lingkungan kerja yang dianggap lebih sesuai. Fenomena ini dikenal dengan job hopping. Namun, tren terbaru menunjukkan perubahan menarik. Setelah fenomena job hopping pada awal karir, kini Sebagian besar Gen Z justru mulai menghadapi fenomena sebaliknya. Job hugging, bertahan terlalu lama pada satu pekerjaan karena merasa aman dan nyaman.

Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Data global menunjukkan pola bergeser dari mobilitas tinggi menuju kecenderungan bertahan. Laporan Randstad 2025 Gen Z Workplace Blueprint mencatat bahwa rata-rata Gen Z hanya bertahan sekitar 1,1 tahun pada lima tahun pertama karier mereka. Meski mobilitas masih tinggi, hanya 11% Gen Z yang berniat menetap lama di pekerjaan saat ini. Sebuah indikasi munculnya dilema antara mencari peluang baru atau bertahan demi rasa aman. Di Indonesia, gambaran serupa terlihat. Survei JakPat (2024) menunjukkan sekitar 31% Gen Z bertahan 1-2 tahun, dan 24% bertahan lebih dari 2 tahun di satu tempat kerja. Dengan tingkat pengangguran terbuka bagi usia muda mencapai 16,16% (BPS, 2025), pilihan bertahan seringkali dianggap langkah realistis ketimbang berisiko kehilangan pekerjaan.

Job hugging secara definisi berarti memeluk pekerjaan. Namun fenomena ini dapat dijelaskan pada kondisi karyawan yang bertahan dalam satu pekerjaan karena berbagai alasan yang kerap kali identik dengan alasan negatif. Fenomena ini terjadi Ketika karyawan memilih untuk bertahan pada pekerjaan mereka saat ini walaupun yang mereka Jalani tidak lagi memuaskan. Karyawan melakukan job hugging mungkin menyadari ada peluang lain, tetapi memilih bertahan karena takut kehilangan rasa aman atau bahkan justru blunder jika mencoba peluang baru yang belum pasti.  Dari perspektif teori kebutuhan Maslow (1943) keputusan ini menunjukkan dominannya kebutuhan akan keamanan (safety needs). Keputusan ini menunjukkan kebutuhan. Gen Z yang sebelumnya dikenal mengejar aktualisasi diri dan penghargaan (didorong oleh job hopping), kini terpaksa memprioritaskan Kebutuhan akan keamanan (safety needs) yang paling mendasar. Dalam menghadapi ancaman PHK dan gejolak ekonomi, stabilitas finansial menjadi kebutuhan utama yang mengesampingkan ambisi karir, kepuasan kerja, atau pertumbuhan diri. Job gugging dengan demikian merupakan manifestasi dari perilaku bertahan hidup (survival), bukan lagi strategi untuk berkembang (thriving) dalam karir.

Pergeseran dari job hopping ke job hugging menunjukkan bahwa kini kendali berada pada kursi pengemudi. Perubahan tajam ini membuat banyak pekerja merasa “asam” terhadap pasar kerja saat ini, terutama setelah mereka merasakan keleluasaan. Dalam kerangka Herzberg’s (1959) Two-Factor Theory, alasan bertahan seringkali lebih didorong oleh hygiene factors (gaji, keamanan kerja, stabilitas) daripada motivators (kesempatan berkembang, pencapaian, tanggung jawab).

Fenomena job hugging bertahan terlalu lama di satu pekerjaan karena merasa aman tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang mendorong generasi muda, khususnya Gen Z untuk menahan diri dari kebiasaan job hopping yang dulu sempat marak.

1. Ketidakpastian Ekonomi

Situasi ekonomi global dan nasional sedang tidak menentu. World Economic Forum (2025) mencatat penurunan drastis lowongan entry-level hingga 29 poin persentase sejak 2024. Di Indonesia, data BPS (2025) menunjukkan angka pengangguran Gen Z mencapai 16,16%, tertinggi dibanding generasi lain. Lonjakan harga, biaya hidup yang semakin mahal, serta gelombang PHK membuat anak muda lebih realistis. Mereka cenderung memprioritaskan keamanan finansial jangka pendek dibanding ambisi jangka panjang. Hal ini bisa terjelaskan melalui teori social exchange (Blau, 1964) individu menimbang risiko dan keuntungan. Bertahan dipersepsikan lebih menguntungkan dibanding resign yang belum tentu menghasilkan pekerjaan lebih baik.

2. Kelelahan Psikologis akibat job hopping

Meski sering berganti pekerjaan memperluas pengalaman, ternyata hal ini juga menimbulkan keletihan adaptasi, harus membangun jejaring baru, menyesuaikan diri dengan budaya kerja berbeda, hingga menghadapi ketidakpastian karier. Survei Gallup (2024) menemukan 62% Gen Z mengaku merasa stres setiap hari di tempat kerja. Tidak mengherankan bila kini stabilitas lebih dihargai dibanding terus berpindah tanpa arah yang jelas.

3. Perubahan Prioritas Nilai

Gen Z tidak lagi melihat gaji sebagai satu-satunya tolok ukur. Survei Unstop (2024) mengungkap bahwa 72% Gen Z lebih mementingkan kepuasan kerja dan work-life balance, sementara 77% mengutamakan perusahaan yang memberi peluang pengembangan karier. Artinya, selama faktor non-finansial seperti keseimbangan hidup, kesempatan belajar, dan lingkungan kerja sehat terpenuhi, mereka akan lebih memilih bertahan. Fenomena ini bisa dijelaskan dengan Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 2000), yang menekankan pentingnya kebutuhan psikologis akan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Selama kebutuhan ini terpenuhi, Gen Z lebih cenderung bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun