Mohon tunggu...
M Chusni Farid
M Chusni Farid Mohon Tunggu... Human Resources - penikmat cerita yang suka bercerita

mahasiswa jurusan bahasa dan sastra arab. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan

11 Desember 2019   15:23 Diperbarui: 11 Desember 2019   15:27 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik matahari siang ini cukup menyengat, sinarnya membakar tanah sekitar. Rangas mengeringkan dedaunan. Ranting saling berjatuhan kurus kering diterpa angin. Malang tidak seperti biasanya. Ia tak lagi berlaku dingin.  Sejukpun tak kurasakan saat ini. Hanya hawa pengap yang terus menyelimuti, wahai katak berdoalah, serukan nyanyianmu agar angin  bisa mengumpulkan awan hitam, berkumpul bagai koloni pasukan. Siap menyerang menumpahkan kesejukan tinggal menunggu perintah dari komandan.

Hari-hari kemarin selalu diselimuti awan hitam, ya koloni pasukan  yang sekarang sedang kunantikan kehadirannya. Bukan berarti aku membenci senyum sang surya siang ini, ia nampak selalu gagah dengan sinar kuningnya yang menyilaukan. Terlihat sangat jantan dan menawan, tentunya selalu menarik perhatian. namun kali ini ia seperti marah, tak seperti biasanya ia meregangkan senyumnya terlalu lebar hingga tanah di sekitar gersang dan pepohonan pun ikut mongering karena kurangnya asupan air di dalam tanah.

Aku merasa geram kepada sang surya, mengapa ia tega melakukan ini, apa dia marah karena masalah lain? Seperti  akhir-akhir ini kehadirannya  yang selalu diganggu oleh awan hitam?  Kali ini kucoba menatap sang surya langsung tanpa perantara, aku ingin bercakap dengan nya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia benar-benar marah, atau hanya dugaanku saja. "Hai sang surya" sapaku dingin. Sang surya seperti tidak menghiraukan kehadiranku. Ia memalingkan wajah membelekangiku. Ku tinggikan suaraku "wahai sang sinar kuning yang gagah  nan perkasa," pujiku untuk mendapat perhatian.

Sang surya  menggeram. ia mengarahkan sebagian sinarnya ke tubuh kecilku. Ia melotot mulai memperhatikan. Ia redupkan sementara guratan senyumnya. Semburat cahaya perlahan hilang di sebagian penjuru. Digantikan dengan panasnya tubuhku akibat peralihan sinar dari sebagian penjuru. panas, ah bukan lagi panas yang kurasakan. Aku hampir  saja  matang ditatapnya. Lantas langsung kuutarakan maksudku.

"Wahai sinar kuning agung,,, mengapa akhir-akhir ini engkau nampak marah? Sinarmu tidak lagi menghangatkan. Namun sudah membakar sebagian penjuru ini. Lihat sekitarmu sudah kering kerontang, masih belum puaskah kau hempaskan seluruh amarahmu?" Ia mulai meredupkan sinarnya. Tidak lagi menatapku tajam. Hawa sekitar sesaat berubah hangat. Volume panas perlahan mencuat hilang. Sepertinya sang surya malu ingin bercerita, sinarnya semakin ia redupkan diikuti dengan keadaan sekitar yang semakin gelap dan gulita hampir muncul. Sebelum itu terjadi aku berkata lantang.

"Wahai sinar kuning yang menghangatkan,,, jangan kau redupkan sinarmu. Lihat aku yang kedinginan dan takut akan kegelapan. Aturlah sinarmu perlahan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu gelap."  Sang suryapun hanya patuh menurut tanpa banyak berontak. Bak pawang matahari, aku bisa mengendalikannya sesuka hati. Perlahan mentari membuka mulut kemudian bercerita, ia utarakan semua keluh kesahnya. Aku diam menyimak dan larut di dalamnya.

"Wahai manusia, sebenarnya aku merasa heran terhadapmu. Mengapa akhir-akhir ini  engkau berbuat semena-mena? Pasak bumi kau tebang, kau cabut sampai akar-akarnya. Kemudian kau dirikan gedung pencakar langit. Apakah kamu bisa menggantikan fungsi dari pasak yang tebang? Gedung pencakar langitmu tidak bisa menahan senyumku. Jangankan senyumanku, tangisan awan hitampun kau tak mampu menghalaunya." Matanya menelisik, menatap jauh kedalam. Mata kami saling beradu. Bercampur baur menjadi satu. Seolah aku mengerti semua ucapannya. Sungguh miris kelakuan kaumku. Memenuhi  ego demi menuruti nafsu.

Sang surya membuyarkan lamunanku, ia kembali menggeram dan perlahan sinarnya kembali normal. Panas menyengat. Aku segera berlalu menjauhinya, tak mau gosong untuk kedua kalinnya. Guratan senyum ia lontarkan sedikit memang seperti kecut namun itu yang sekarang menyadarkanku bahwa sang surya marah bukan tanpa sebab. Ia berubah karena kita sendiri yang semena-mena terhadap alam. Alam sebagai tempat kita tinggal, harus dijaga dan dirawat. Agar alam juga bisa melindungi kita dari berbagai macam bencana. Bukanlah hubungan saling menguntungkan itu baik?.

Perlahan rintik tangis mulai turun, sang koloni hitam sudah lama berkumpul. Aku baru tersadar ketika satu tetes tangisannya mengenai kulitku. Dingin, sejuk hawa yang kurasakan. Tangisan makin menjadi. Sang koloni pasukan hitam terus menghujamkan tangisannya. perlahan namun pasti aku basah kuyup oleh tangisan sang awan koloni. Hujan inilah yang kunanti.

                                                                      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun