Siapa sangka, sore itu air menggenang di depan rumah kami. Rumah yang sejak dulu berdiri tenang di sebuah desa yang asri, kini dikepung air keruh yang perlahan mengalir dari arah sungai. Karena hujan saat sore itu dan sungai di dalam hutan tak sanggup lagi menampung air.
Banjir di desa kami bukanlah hal biasa. Letak desa yang jauh dari pusat kota, dikelilingi alam dan pepohonan, seharusnya menjadi tempat yang aman dari bencana banjir. Tapi kali ini berbeda. Air menguap dari tanah hutan yang mulai kehilangan daya serapnya, lalu mengalir deras membawa lumpur dan ranting, melintasi sungai, hingga masuk ke pekarangan warga.
Banyak yang bingung dan bertanya-tanya: "Mengapa desa yang dulunya aman kini bisa banjir?" Jawabannya mungkin terletak pada perubahan yang terjadi di hulu sungai. Hutan yang dulunya rimbun kini mulai gundul. Penebangan pohon tanpa kendali dan minimnya perawatan terhadap daerah aliran sungai menyebabkan tanah kehilangan kemampuan menahan air. Air hujan yang biasanya diserap tanah dan akar-akar pohon, kini langsung meluncur deras menuju desa.
Warga desa bahu-membahu menghadapi banjir ini. Mengangkat perabotan, mengamankan barang-barang berharga, dan mengevakuasi hewan ternak. Semuanya dilakukan dengan cepat, meski dengan alat seadanya. Banjir kali ini menyadarkan kami bahwa desa pun kini tak lepas dari ancaman bencana alam akibat ulah manusia.
Kami berharap kejadian ini menjadi pengingat bagi semua pihak. Bahwa menjaga hutan dan sungai bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis lingkungan, tapi tanggung jawab kita semua. Alam punya caranya sendiri untuk memberi peringatan dan kali ini, banjir menjadi salah satunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI