Mohon tunggu...
Faras Syahrani
Faras Syahrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Make it happen, girl. Shock everyone.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Keamanan Perempuan Afghanistan di Bawah Taliban

28 Oktober 2021   08:56 Diperbarui: 28 Oktober 2021   09:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Afghanistan dikenal sebagai negara konfliktual jauh dari sebelum sebagian wilayah di taklukkan oleh Taliban. Negara ini memiliki sejarah yang cukup "kelam", terdapat perang saudara, malawan etnis lain dan lainnya. Secara historical, masuknya Taliban ke Afghanistan berusaha untuk mengubah sistem administrasi politik dan tatanan sosial masyarakat dengan menghadirkan hukum Islam yang ekstream.

Hukum Islam yang ingin diterapkan oleh Taliban pada dasarnya sangat merugikan masyarakat, khususnya pada perempuan. Alasannya, aktivitas dan pergerakan perempuan harus dibatasi, tidak boleh disamakan dengan laki-laki, harus sesuai dengan syariat Islam. Padahal di zaman yang penuh dengan teknologi dan terus berevolusi, pembeda antara perempuan dan laki-laki sudah tidak ada batasannya. Perempuan dapat duduk di bangku politik seperti halnya yang dilakukan oleh laki-laki. 

Dalam hal ini, penulis akan menelusuri sejarah keamanan perempuan di Afghanistan sebelum dan setelah di bahwa Taliban. Pada tahun 1919-1960 perempuan Afghanistan diberikan hak untuk memilih dan diperbolehkan adanya partisipasi di politik. Namun, kebebasan tersebut mulai sirna sejak pendudukan Uni Soviet pada tahun 1978 dan diteruskan dengan kehadiran dari kelompok Mujahidin. 

Menurut Horia Mosadiq (2013), menyatakan bahwa invasi Uni Soviet dan masuknya kelompok Mujahidin sangat mengancam keamanan perempuan, hal tersebut ditandai dengan kekerasan, pemerkosaan. Pergolakan tersebut semakin kompleks saat Taliban hadir dan memenangkan wilayah Afghanistan atas kelompok Mujahidin. 

Pada masa transisi tersebut menimbulkan traumatis yang mendalam bagi perempuan Afghanistan, hak menduduki kursi pemerintahan hilang, selaga aktivitas diluar rumah harus diminimalisir. Apabila melanggar aturan Taliban, terdapat hukuman. 

Periode pertama Taliban menduduki Afghanistan adalah pada tahun 1996-2001, hukuman yang diberikan kepada perempuan Afghanistan berupa bentuk peringatan agar tidak menggunakan kutek, apabila dilanggar akan dipotong jarinya. Kemudian hukuman apabila tidak menggunakan pakaian sesuai dengan syariat Islam, amkan akan dicambuk. Ironisnya, segala tindakan hukuman yang diberikan Taliban kepada Afghanistan selalu mengatasnamakan hukum Islam. 

Kebijakan Taliban 20 tahun silam menciptakan mimpi buruk bagi perempuan Afghanistan. Saat ini, dengan kependudukan Taliban yang baru, mereka berjanji tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak ada diskriminasi dan memberikan ruang kepada perempuan untuk melakukan aktivitas. Tetapi ternyata pernyataan tersebut hanya janji belaka.

Terlihat pada tanggal 17 Agustus, terjadi perlawanan yang dilakukan oleh perempuan Afghanistan, dipimpin oleh salah satu aktivis HAM yang bernama Fariha Esar. Dengan hasil mereka dicambuk, dilecehkan dan disetrum di depan masyarakat. Padahal bentuk perlawanan perempuan Afghanistan berupa aksi demo untuk memberikan hak perempuan di kursi pemerintahan, setelah tahu bahwa perempuan tidak ada di daftar kabinet pemerintahan.  

Sudah banyak pernyataan-pernyataan resmi untuk mendorong Taliban memberikan hak keamanan berupa terlibatnya perempuan di pemerintahan. Seperti Resolution 1325 (2000) yang dikeluarkan oleh United Nations Security Council, telah ditegaskan bawah perempuan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mencegah dan menyelesaikan konflik di dalam maupun luar negeri, oleh karena itu peran perempuan sangat diperlukan. Pernyataan selanjutnya adalah hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan melindungi hak perempuan dan anak-anak.

Kemudian UN Women yang juga memberikan kesempatan untuk perempuan Afghanistan berbicara. Asila Wardak, salah satu perempuan yang berkesempatan untuk berbicara mengatakan "Create spaces for me and other Afghan women leaders to talk directly with Taliban, Give us a seat at the table. Do not put us in the corridor". 

Jika ditelaah lebih jauh tindakan maupun kebijakan Taliban tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena berdasarkan sejarah bahwa Taliban hanya ingin membangun negara yang berbasis hukum Islam dengan cara menerapkan segala administrasi negara dengan hukum Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun