Mohon tunggu...
Farah Nabila Nur Afifah
Farah Nabila Nur Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Pada Saat Pandemi Covid-19

24 Juni 2022   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2022   12:35 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pemerintah Indonesia menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 12 tahun 2020, tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional [JDIH BPK RI]. Beberapa Negara melakukan berbagai upaya untuk menghentikan wabah COVID-19. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menghambat penyebaran virus ini adalah dengan melaksanakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang dimana hal ini telah tercatat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. Upaya yang dilakukan ini sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat.

PSBB dapat mempengaruhi hubungan antar masyarakat dengan memanfaatkan teknologi internet. Berbagai sekolah melaksanakan proses belajar mengajar secara online di rumah masing-masing (school from home) dan beberapa instansi juga melaksanakan bekerja dari rumah (work from home). Tidak hanya digunakan untuk belajar dan bekerja saja, internet juga biasa digunakan untuk berinteraksi antar individu di media sosial, seperti WhatsApp, Twitter, Instagram, Facebook, Telegram dan lain sebagainya. Melalui media sosial ini, dapat memicu adanya kekerasan di dunia maya. Salah satunya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). KBGO merupakan kekerasan yang difasilitasi oleh teknologi kepada seseorang berdasarkan gender. Kekerasan ini bisa terjadi kepada siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Namun, karena di Indonesia masih banyak orang yang mengikuti budaya patriarki, kekerasan ini lebih sering terjadi kepada perempuan. KBGO tidak dilakukan secara fisik, melainkan dengan berbagai cara secara verbal. Terdapat 8 bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), konten ilegal (illegal content), peretasan (hacking), pelanggaran privasi (infringement of privacy), pencemaran nama baik (online defamation), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), dan rekrutmen online (online recruitment) (Kusuma, 2019).

Sebelum masa pandemi, kasus KBGO ini cukup rendah. Dapat dilihat dari data Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan, tercatat bahwa pada tahun 2018, korban KBGO mencapai 97 kasus, pada 2019 tercatat mencapai 241 kasus, namun pada saat pandemi 2020 kasus KBGO mengalami peningkatan yang drastis mencapai sekitar 940 kasus. Bahkan pengguna media sosial di Indonesia mencapai 170 juta orang dengan rentan umur 18-34 tahun, serta dengan intensitas penggunaan media sosial selama 3 jam 14 menit per hari (Haryanto, 2021). Pemakaian media sosial yang semakin meningkat inilah yang dapat memberikan peluang terhadap maraknya tindak Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Hal ini dapat menjadi ancaman besar bagi masyarakat.

 Kekerasan Berbasis Gender Online di Masa Pandemi COVID-19

Seiring dengan berkembangnya teknologi, jumlah pengguna media sosial di Indonesia meningkat. Jenis media sosial yang sering digunakan oleh masyarakat pun beragam, seperti WhatsApp, Twitter, Instagram, Facebook, Telegram, Youtube dan lain sebagainya. Aplikasi media sosial memiliki berbagai macam fitur, seperti fitur chat, panggilan suara, panggilan video, unggah gambar serta unggah video. Dengan adanya fitur-fitur ini sangat memudahkan bagi seseorang untuk melakukan kekerasan berbasis gender online. Menurut Lidwina Inge Nurtjahyo, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah tindakan yang menyerang identitas gender, tubuh dan seksualitas seseorang dengan menggunakan teknologi digital (Nurtjahyo, 2021). Kekerasan berbasis gender online ini masih menjadi permasalahan yang serius di Indonesia, terutama bagi perempuan karena banyak dari korban kekerasan tersebut adalah perempuan, meskipun tidak sedikit pula laki-laki menjadi korban KBGO. Ditambah lagi dengan adanya masa pandemi COVID-19 yang mengharuskan masyarakat melakukan segala hal secara daring. Berbagai sekolah melaksanakan proses belajar mengajar secara online di rumah masing-masing (school from home) dan beberapa instansi juga melaksanakan bekerja dari rumah (work from home). Berdasarkan hasil survei yang dipublikasikan oleh media cnnindonesia.com, mengenai pekerja work from home, menunjukkan bahwa dari 315 pekerja terdapat 86 pekerja mengalami kekerasan berbasis gender online (CNN Indonesia, 2021).

Ada beberapa macam kekerasan berbasis gender online yang sering terjadi saat masa pandemi, antara lain:

  1. Pelecehan online (cyber harassment) yang merupakan tindakan pengiriman pesan untuk mengganggu, menakuti, mengancam serta menyakiti orang lain melalui internet. Contohnya seperti yang terjadi dalam unggahan foto di akun instagram seorang artis, yaitu Tamara Blezynski (@tamarablezynskiofficial) pada tanggal 16 Juni 2020 yang berfoto dengan menggunakan baju renang di kolam renang dan mendapatkan komentar-komentar yang tidak senonoh seperti, "Mbak ini sudah berumur tapi masih semok aja ya" serta "Masih kenceng kh bisa dicoba kh" dan masih banyak lagi komentar yang tidak seharusnya dilontarkan.
  2. Kekerasan verbal (verbal abuse) yang merupakan tindakan seseorang untuk meremehkan atau merendahkan, memfitnah, serta menyakiti orang lain dengan kata-kata atau bahasa yang tidak baik (King & Paramita dalam Wibowo, 2018). Seperti yang terjadi dalam unggahan foto Tamara Blezynski, dimana netizen berkomentar seperti "Masih kenceng kh bisa dicoba kh" hal ini juga termasuk kedalam kekerasan verbal atau verbal abuse. 
  3. Ujaran kebencian (hate speech) merupakan komunikasi seseorang atau kelompok yang mengandung provokasi, hinaan, maupun hasutan. Ujaran kebencian juga mengarah ke berbagai aspek seperti, ras, etnis, warna kulit, gender, agama, kewarganegaraan, orientasi seksual dan lain sebagainya. (Mawarti, 2018). Seperti yang terjadi dalam akun Twitter Najwa Shihab (@NajwaShihab) yang merupakan pembawa acara, jurnalis, serta aktivis media sosial, dimana Najwa Shihab mendapatkan komentar yang berisi "Najwa Shihab berkilah bahwa perbuatannya terhadap Menteri Terawan itu hal biasa di luar negeri. Ok, kalau begitu kenapa tidak ikutin berpakaian semi telanjang? Karena host di luar negeri sudah biasa berpakaian semi telanjang. Kalau Najwa mau berkiblat ke sana, ya jangan tanggung" komentar tersebut dilontarkan oleh seorang netizen pada tanggal 30 September 2020.
  4. Pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming) merupakan tindakan pendekatan seseorang yang bertujuan untuk menciptakan hubungan emosional melalui media sosial hingga mendapat kepercayaan dari korban. Ada sekitar 307 kasus pendekatan untuk memperdaya atau cyber rogoming yang tercatat dalam CATAHU 2021. Salah satu kasus yang terjadi, yaitu kasus pencabulan terhadap siswa SMA bernama DA (17) yang dilakukan oleh pelaku DN. Awalnya DA berkenalan dengan DN melalui media sosial Facebook (Inge,2021), karena DA sudah merasa bahwa mereka tertarik satu sama lain akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu. Saat bertemu inilah pelaku DN melakukan aksi pencabulan di rumahnya. Bahkan DN memotret DA guna mengancam korban dengan menyebarkan foto tersebut. Dalam kasus ini terdapat 2 bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), yaitu yang pertama adalah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming) dilihat dari bagaimana pelaku melakukan pendekatan agar korban percaya kepadanya dan pelaku dapat melakukan aksinya. Bentuk yang kedua adalah Ancaman distribusi foto/video pribadi (macilious distribution) dilihat dari pelaku DN yang menggunakan foto korban untuk mengancam korban apabila tidak menuruti perintahnya.  
  5. Ancaman distribusi foto/video pribadi (macilious distribution) merupakan bentuk ancama yang dilakukan seseorang dengan cara menyebarkan foto atau video pribadi untuk memfitnah dan mencemarkan nama baik korban. Seperti yang terjadi kepada DA yang diancam oleh pelaku DN, dimana DN mengancam akan menyebarkan foto asusila DA jika tidak menuruti perintahnya.

Tidak hanya 5 contoh diatas, tetapi masih banyak lagi tindakan-tindakan kekerasan berbasis gender online yang sering terjadi seperti, konten ilegal (illegal content), peretasan (hacking), pelanggaran privasi (infringement of privacy), serta rekrutmen online (online recruitment).

Kekerasan berbasis gender online yang terjadi di media sosial membuat media sosial menjadi sarana baru dalam meningkatnya kasus kekerasan, ditambah lagi pada masa pandemi COVID-19 seperti sekarang. Banyaknya akun anonim juga menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender online. Akun anonim merupakan akun yang biasanya digunakan untuk melakukan tujuan pemilik akun tetapi tanpa mengungkap jati dirinya agar tidak diketahui oleh teman atau orang lain. Menurut data yang disajikan oleh DW, kasus kekerasan berbasis gender online dalam bentuk pelecehan terhadap perempuan ditemukan dibeberapa media sosial dengan urutan paling sedikit yaitu Tiktok sekitar 6%, Twitter sekitar 9%, Snapchat sekitar 10%, WhatsApp sekitar 14%, Instagram sekitar 23%, dan Facebook sekitar 39% (DW, 2020).  

Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan sosial baik di dunia nyata maupun dunia maya seperti media sosial. Tetapi pada kenyataannya masih banyak orang yang merasa tidak aman dan nyaman saat menggunakan sosial media karena maraknya kasus kekerasan berbasis gender online. Maka dari itu, dibutuhkannya perangkat hukum atau Undang -Undang yang mengatur perlindungan hak-hak pengguna media sosial terutama perempuan yang menjadi target utama kekerasan. Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan merancang Rancangan Undang - Undang Penghapusan kekerasan Seksual (RUU PKS). Tetapi, RUU PKS mengalami proses pengesahan yang lamban karena masih mengandung pro dan kontra. Pada Agustus 2021, RUU PKS kemudian resmi berganti nama menjadi Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual RUU TPKS. Lalu, masuk ke Prolegnas Prioritas 2022 pada Senin, 6 Desember 2021. Setelah menanti selama 10 tahun, RUU TPKS akhirnya resmi disahkan menjadi UU pada Selasa, 12 April 2022, melalui Rapat Paripurna DPR RI. (Tempo.co)

 

 Dampak Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun