Siapa disini yang ngga asing dengan istilah "Gultik"? Kalau kamu anak Jakarta atau pernah main ke Jakarta pasti udah ngga asing dengan istilah "Gultik". Yap, itu adalah salah satu makanan legend yang hitz di Kawasan Blok M. Gultik ini adalah singkatan dari Gulai Tikungan, yaitu makanan kaki lima yang disajikan di tikungan jalan. Biasanya Gultik ini mulai buka saat menjelang malam. Harga seporsi gulai sapi dengan nasi hangat dan kerupuk bisa kamu nikmati hanya Rp10.000-an.
Kedengarannya biasa aja kan? Tapi jangan salah ya, yang datang buat makan disana bukan cuma anak kuliahan yang lagi bokek. Tapi dari pekerja kantoran sampai influencer pun sering muncul di sana. Apalagi semenjak ada tren "ngegultik" yang bikin makin viral di TikTok dan Instagram.
Pertanyaannya: kenapa orang rela antre dan duduk sempit-sempitan demi sepiring gulai? Kok bisa?
Nah menariknya, yang dijual ini bukan hanya sekedar makanan, tapi juga soal rasa, suasana dan perasaan.
Di jaman sekarang, orang itu nggak hanya mencari makanan yang enak, tapi juga mencari pengalaman makan yang "relatable". Hal ini yang bisa disebut sebagai hedonic consumption, yaitu konsumsi sesuatu demi mendapatkan kepuasan emosional, bukan hanya sekedar kebutuhan fungsional.
Kamu bisa lihat sendiri, ada banyak yang datang ke Gultik rame-rame bareng temannya, duduk lesehan di trotoar, dan ngobrol sambil menikmati makanan hangat di tengah malam. Ada rasa kebersamaan, kehangatan, dan sedikit nostalgia seakan-akan kembali ke masa muda.
Gultik juga memenuhi sebagai symbolic needs, yaitu sebagai kode budaya bahwa "Lo belum sah jadi anak Jaksel kalau belum pernah duduk selonjoran di tikungan Blok M sambil makan Gultik tengah malam".
Jadi, Gultik Blok M sudah jadi ikon legendaris tempat makan di Jaksel. Dia jadi simbol kebersamaan, kenangan, dan gaya hidup malam Jakarta. Maka nggak heran kalau Solomon bilang: konsumen itu emosional, dan emosi bisa lebih kuat dari logika.
Kamu Mau Coba?