Dunia dakwah telah berubah drastis. Kini, pesan keislaman tak hanya disampaikan lewat mimbar masjid atau majelis taklim, melainkan juga melalui layar ponsel dan beranda media sosial. Dari video berdurasi satu menit hingga postingan singkat di TikTok atau Instagram, setiap konten bisa menjadi "ceramah" yang menjangkau jutaan jiwa. Namun, di tengah derasnya arus digital, muncul pertanyaan penting: apakah nilai profetik masih hadir di balik konten dakwah yang kian viral?
Fenomena ini menampakkan dua sisi. Di satu sisi, digitalisasi membuka peluang luar biasa untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara luas dan cepat. Namun, di sisi lain, muncul gejala komersialisasi agama, ketika sebagian pendakwah lebih dikenal karena gaya dan sensasinya ketimbang substansi pesannya. [1]Algoritma media sosial pun sering kali mendorong konten yang paling menarik perhatian, bukan yang paling bermakna. Akibatnya, pesan profetik yang menuntun hati sering tenggelam dalam hiruk-pikuk hiburan rohani.
Â
Komunikasi Profetik dan Tantangan Algoritmik
Komunikasi profetik adalah bentuk komunikasi yang berakar pada misi kenabian, yaitu menyampaikan kebenaran dengan hikmah, menegakkan kemanusiaan, dan menumbuhkan kesadaran ilahiah.[2] Ia bukan sekadar menyebarkan ajaran agama, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Dalam konteks digital, komunikasi profetik berperan penting untuk menjaga agar dakwah tidak kehilangan ruh spiritualnya di tengah derasnya arus informasi yang serba cepat dan dangkal.
Namun, dunia digital bekerja dengan logika yang berbeda. Algoritma media sosial beroperasi dalam sistem attention economy, ia menonjolkan konten yang paling menarik emosi dan menghasilkan interaksi tinggi. Akibatnya, pesan dakwah yang tenang, reflektif, dan mendalam sering kalah oleh konten sensasional.[3] Dakwah yang seharusnya mencerahkan justru bisa berubah menjadi ajang pencarian popularitas. Dalam situasi ini, nilai-nilai profetik seperti kejujuran, kesabaran, dan kelembutan berisiko tersisih oleh godaan klik dan viewer.
Selain itu, algoritma menciptakan fenomena filter bubble, lingkaran sempit informasi yang hanya memperkuat pandangan yang sudah diyakini pengguna. Ruang dialog lintas pandangan pun menyusut, dan umat lebih mudah terjebak pada polarisasi keagamaan. Pesan dakwah yang seharusnya mengajak pada hikmah dan kebersamaan sering tergeser oleh konten yang memicu perdebatan atau kebencian. Padahal, esensi komunikasi profetik adalah membangun jembatan pemahaman, bukan menambah sekat perbedaan.
Meski demikian, algoritma tidak harus dilihat sebagai musuh. Ia bisa menjadi sarana dakwah yang efektif bila digunakan dengan kesadaran etis dan literasi digital yang memadai. Para dai dan kreator konten Islam perlu memahami cara kerja algoritma agar mampu menyesuaikan strategi tanpa kehilangan integritas. Literasi algoritmik kemampuan memahami pola distribusi konten digital dapat membantu umat Islam menggunakan teknologi secara bijak. Prinsipnya sederhana: gunakan algoritma untuk menyebar hikmah, bukan sekadar untuk menjadi viral.
Akhirnya, komunikasi profetik menuntut integritas di atas segalanya. Setiap unggahan, komentar, dan pesan di dunia digital adalah bagian dari tanggung jawab moral. Dakwah sejati bukan tentang siapa yang paling populer, tetapi siapa yang paling tulus menyampaikan kebaikan. Ketika niat yang lurus dipadukan dengan kecakapan digital, dakwah tidak akan terjebak dalam logika algoritma semata. Sebaliknya, ia akan menjadi cahaya yang menuntun masyarakat menemukan nilai-nilai ilahi di tengah riuhnya dunia maya.
Â