Mohon tunggu...
Faqih Ilhamsyah
Faqih Ilhamsyah Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa

Basket

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pejabat dan Gaya Hidup Mewah: Antara Kewajiban dan Godaan

16 Mei 2024   22:16 Diperbarui: 16 Mei 2024   22:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perubahan gaya hidup pejabat negara dari masa ke masa mencerminkan dinamika sosial yang lebih luas dalam masyarakat kita. Gaya hidup mewah dan hedonistik yang kini sering kita lihat di media sosial menunjukkan pergeseran nilai dan budaya yang patut diperhatikan.

Gaya hidup pejabat negara kini sering kali menjadi sorotan publik, terutama di era media sosial yang serba terbuka. Banyak pejabat yang menunjukkan kemewahan melalui unggahan di media sosial, baik itu mobil mewah, liburan ke luar negeri, atau barang-barang bermerek. Fenomena ini memicu pertanyaan: apakah perubahan gaya hidup ini mencerminkan perubahan nilai dalam masyarakat kita? Gaya hidup yang ditunjukkan oleh para pejabat tidak hanya mempengaruhi persepsi publik tentang mereka, tetapi juga dapat menciptakan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Sosiolog Pierre Bourdieu dalam bukunya "Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste" menjelaskan bahwa gaya hidup dan selera adalah alat bagi kelas dominan untuk menunjukkan status dan kekuasaan. Pejabat negara, sebagai bagian dari kelas dominan, menggunakan gaya hidup mewah sebagai simbol status mereka. Bourdieu menekankan bahwa perilaku ini dapat memperkuat ketimpangan sosial karena memperjelas batas-batas antara kelas yang berbeda. Selain itu, Thorstein Veblen dalam teorinya tentang "Leisure Class" menggambarkan bagaimana kelas atas menggunakan konsumsi mencolok (conspicuous consumption) untuk menunjukkan kekayaan dan kekuasaan mereka. Hal ini sangat relevan dengan fenomena gaya hidup pejabat masa kini yang sering dipertontonkan di media sosial.

Di lapangan, gaya hidup mewah pejabat sering kali berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi masyarakat yang mereka pimpin. Misalnya, kasus salah satu pejabat yang diketahui memiliki rumah mewah dan mobil sport padahal pendapatan resminya tidak memungkinkan memiliki kekayaan sebesar itu. Contoh lain adalah pejabat yang menghabiskan waktu berlibur di luar negeri saat rakyatnya berjuang menghadapi bencana alam. Ketimpangan ini menciptakan jarak yang semakin lebar antara pejabat dan rakyat, serta menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan masyarakat.

Menurut Zygmunt Bauman, dalam buku "Consuming Life", masyarakat modern semakin terdorong oleh konsumsi dan gaya hidup sebagai cara untuk menunjukkan identitas dan status sosial. Bauman menganggap bahwa dalam masyarakat konsumeris, individu diukur berdasarkan kemampuan mereka untuk mengonsumsi barang dan jasa tertentu. Hal ini relevan dengan fenomena gaya hidup pejabat negara, di mana mereka berusaha menunjukkan status dan kekuasaan melalui konsumsi barang-barang mewah. Sumber lain, Richard Sennett dalam bukunya "The Fall of Public Man", mengungkapkan bahwa pejabat yang terlalu fokus pada kehidupan pribadi dan kemewahan mereka dapat mengabaikan tanggung jawab publik mereka, yang pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat.

Kasus yang baru-baru ini ramai dibicarakan adalah seorang pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus korupsi karena gaya hidup mewahnya. Pejabat tersebut diketahui memiliki koleksi mobil mewah dan sering berlibur ke luar negeri, yang kemudian terungkap bahwa kekayaan tersebut didapatkan melalui praktek korupsi. Kasus ini menunjukkan bagaimana gaya hidup mewah tidak hanya menjadi simbol status, tetapi juga bisa menjadi bukti dari perilaku tidak etis dan korupsi di kalangan pejabat.


Perubahan gaya hidup pejabat negara dari masa ke masa tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang lebih luas. Gaya hidup yang mewah dan hedonistik bukan hanya mencerminkan status individu, tetapi juga bisa menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah bagaimana kita bisa memastikan bahwa pejabat negara kita lebih fokus pada tugas dan tanggung jawab publik mereka, daripada hanya menunjukkan kekayaan pribadi mereka? Mungkin perlu ada kebijakan yang lebih ketat dan transparan terkait pengawasan kekayaan pejabat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun